Oleh: Redemptus Musa Narang
Pengantar :
Cerpen ini saya buat dalam rangka penulisan Buku Kenangan Reuni Alumni SPG St.Paulus Sekadau yang dilaksanakan pada tanggal 7-8 Juli 2023, bertempat di Gedung Kateketik Sekadau yang dihadiri tidak kurang dari 250 orang berasal dari alumni 1973 sd. 1991.
Senja itu langit merona, aku memandang ke ufuk barat di sela- sela pepohonan di batas horizon. Aku berdiri di tempat pemandian di kampungku. Setelah tamat SMP St. Gabriel Sekadau, pulang ke kampung terasa sepi, ada yang hilang: teman-teman, keceriaan di sekolah, kegembiraan di Asrama serta kerinduan lain. Saat itu medio Desember 1976; Teman- teman sebaya masih belum pulang ke kampung, karena belum liburan Natal.
Aku sibuk dengan pikiranku. Kemana aku melanjutkan studi; ke SMA atau SPG. Rasanya pengin ke SMA agar kelak bisa kuliah dan bisa merubah hidup yang lebih baik; tetapi saya sadar keadaan sosial ekonomi orang tuaku tidak memungkinkan; akan berat bagi orangtuaku untuk membiayai aku dan adik-adikku, saya adalah nomor 2 dari 9 bersaudara yang semua semangat ingin sekolah. Kakakku hanya tamat SD, sempat melanjutkan ke SKKP di Sintang, tetapi tidak selesai, dengan demikian sebagai saudara lelaki tertua aku harus bisa membantu meringankan beban orangtua dalam membiayai sekolah adik-adik. Dengan demikian, sebaiknya saya masuk SPG agar setelah tamat, dapat langsung bekerja menjadi guru SD dimanpun ditempatkan.
Begitulah, akhirnya aku mendaftar di sekolah kejuruan SPG St. Paulus Sekadau, yang berbeda dengan pilihan adik-adikku setelah mereka tamat SMP yang sama; Munal, Mikael dan Masiun semua melanjutkan ke SMAN 1 Sintang. SPG St. Paulus Sekadau bukanlah hal asing bagiku, karena SMPK dan SPG bertetangga, saya sering bergaul dengan para pelajar SPG, apalagi banyak dari mereka adalah penghuni asrama St. Gabriel Sekadau, sama dengan aku. Pendek kata, saya diterima di SPG tanpa halangan, apalagi nilai SMP saya tergolong baik.
Minggu pertama masuk sekolah di bulan Januari 1977 diawali dengan masa perkenalan atau masa orientasi yang memakan waktu seminggu, sampai masa Iagaurasi atau pelantikan menjadi Siswa/I SPG St. Paulus Sekadau. 4 hari pertama adalah masa penggodokan semangat dan tekad, di isi dengan kegiatan yang padat, penuh disiplin bahkan sampai malam yang sangat menguras tenaga, waktu, pikiran dan perasaan. Kalau melakukan kesalahan, misalnya terlambat, pakaian tidak sesuai ketentuan mereka akan dibentak dan dihukum. Pribadi yang mentalnya tidak kuat bisa “down”, menangis, marah/ melawan atau bahkan mengundurkan diri. Sekalipun penggemlengannya keras dan berat, tetapi belum pernah terjadi tindak kekerasan yang mencelakan; karena kegiatan ini adalah wadah pembinaan. Pada hari ke-5 biasanya adalah Penobatan Raja dan Ratu Masa Orientasi, dimana peraih tanda tangan terbanyak putra dan putri akan dinobatkan menjadi Raja dan Ratu. Raja dan Ratu ini juga berarti bahwa mereka memiliki paling banyak relasi, dengan kakak kelas dan dengan para guru dan staf sekolah. Pakaian kebesaran mereka dibuat dari “karung goni” dan mahkota yang dibuat unik dan lucu; acaranya dibawakan dengan penuh kegembiraan, lagu dan tarian. Acaranya ditata dengan kreatif dan menyenangkan disertai dengan acara api unggun. Pada akhir acara dipesankan, setelah kegiatan ditutup, maka tidak boleh lagi ada rasa sakit hati, benci atau dendam, karena acara itu adalah bagian dari cara membangun suasana keakraban, sehingga berikutnya siap menerima materi pelajaran yang diberikan oleh para guru.
Didirikannya SPG St.Paulus Sekadau merupakan keputusan brilian dan strategis yang dilakukan oleh Prefektur Apostolik Sekadau melalui Yayasan Karya Sekadau waktu itu, yang digagas oleh para misionaris asal Italia. Ketika menginjakkan kakinya di tanah misi Kalimantan Barat pada awal tahun 1960an, khususnya di wilayah Sekadau, Kabupaten Sanggau waktu itu, mereka mendapati kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakatnya yang masih sangat tertinggal; banyak masyarakat masih buta huruf (tidak bisa baca, tulis dan berhitung), tidak memiliki akses ke bidang politik dan pemerintahan serta kehidupan sosial ekonomi masih sangat memprihatinkan atau miskin. Dalam pandangan mereka, maka untuk mengangkat harkat dan martabat masyarakat yang mereka layani yang notabene adalah masyarakat Dayak di Pedalaman, maka harus dibangun sektor pendidikan dengan mendirikan sekolah-sekolah, mulai dari SD, SMP (1968) dan SLTA, dalam hal ini SPG(1971). Ketika mereka mendirikan sekolah, mereka harus mencari guru kemana-mana terutama ke Pulau Jawa; untuk guru SD misalnya mereka dapat dari SPG Van Lith di Muntilan yang terkenal berkualitas dan berdedikasi, sekaligus merupakan tokoh awam yang mumpuni sehingga sekaligus menjadi pemimpin umat dan guru agama Katolik. Berdirinya SPG St.Paulus Sekadau setidaknya untuk mencapai 2 tujuan: 1) Mencetak tenaga guru SD untuk mengisi formasi guru SD di wilayah Kalimantan Barat, khususnya wilayah Sekadau dan Kabupaten Sanggau; apalagi setelah digulirkannya program pembangunan SD Inpres oleh pemerintah dimana terpaksa harus memasok guru dari NTT, NTB dan lain-lain, 2) Mencetak kader-kader awam di bidang pendidikan, sehingga bisa menduduki jabatan-jabatan strategis di pemerintahan dan sektor swasta; tidak sedikit yang menjadi Camat, Kepala Dinas, anggota DPRD, pengusaha sukses. Tidak kalah penting adalah banyak tamatan SPG St.Paulus Sekadau yang terpanggil menjadi Pastor, Bruder dan Suster, sehingga wilayah Sei Ayak atau Belitang dikenal sebagai ladang subur untuk panggilan. Berdirinya SPG menimbulkan “multiplier effect” untuk pembangunan SDM wilayah Sekadau dan sekitarnya.
Paralel dengan berdirinya SPG, pihak Yayasan juga mendirikan Kursus Guru Agama Katolik (KGAK) yang dilaksanakan setelah mata pelajaran SPG usai dan berlangsung juga 3 tahun. Tamat dari KGAK dapat diangkat menjadi guru agama Katolik tingkat SD. Saya termasuk yang mengantongi ijazah KGAK. WB.Edris teman seangkatan saya, ketika melamar menjadi PNS dan diangkat menjadi guru agama Katolik menggunakan Ijazah ini. Dengan kata lain, pelajar SPG Katolik yang mengikuti KGAK ketika tamat boleh memilih menjadi guru umum atau guru agama Katolik.
Suatu yang menarik adalah ketika kami tamat tahun 1980, belum ada seleksi untuk menjadi PNS guru SD, saat kami menerima Ijazah SPG kami juga disodori belanko pendaftaran untuk menjadi PNS. Hal ini karena formasi untuk menjadi guru SD Negeri masih besar. Bahkan waktu itu semua tamatan SPG diwajibkan ikut melamar menjadi guru, kalaupun ada yang mau kuliah diminta mengabdi dulu sebagai guru selama 2 tahun, setelah itu boleh mengajukan tugas belajar. Pada kesempatan penerimaan PNS guru kali ini, Yayasan Karya mengajukan 5 orang tamatan SPG St.Paulus Sekadau untuk ditempatkan sebagai PNS dpk (dipekerjakan) di lingkungan Yayasan Karya; tetapi yang dikabulkan cuma 2 orang, yaitu saya dan Lorensius yang ditempatkan di SD Slamet Riyadi Sekadau.
Guru-guru kami pada waktu itu, kebanyakan bergelar akademik Sarjana Muda atau Bachelor of Arts (BA). Zaman itu masih langka yang bergelar Sarjana Penuh, tetapi kualitas keilmuan, disiplin dan pengabdiannya tidak perlu diragukan. Beberapa guru saya tampilkan di sini. Pertama adalah R.Subagyo,BA (Alm) beliau adalah jebolan dari IKIP Sanatha Dharma Yogyakarta, mengajar mata pelajaran Didaktik Metodik. Penampilannya selalu bersemangat dan memberi kesan tegas, tetapi orangnya lembut. Kalau masuk kelas dia selalu dengan tangan kosong, tanpa bawa buku. Datang, menulis judul pelajaran di papan tulis dan terus berceloteh sambil memasukkan kedua tangannya di saku celana, seolah semua materi pelajaran sudah ada semua di kepalanya. Waktu kuliah, saya bertemu satu dosen dengan tipe seperti ini. Waktu kami tanya,”koq bapak mampu hafal semua materi, tidakkah pernah lupa?” Sang dosen menjawab,”Kalau kalian sudah mengajarkan materi itu 2-3 tahun, maka kalianpun akan mampu seperti saya, itu soal kebiasaan”. katanya. Belakangan Bapak R.Subagyo pindah dan bekerja di Pontianak, sekalian untuk menyelesaikan S1 dan kemudian S2nya. Saya mengenal beliau dengan baik, beliaulah yang kuat memotivasi saya untuk dapat kuliah, sampai-sampai mencarikan saya pekerjaan di SD favourit di Pontianak, agar saya dapat mengikuti jejaknya kuliah di Untan. “Nilai kamu bagus Musa, sayang kalau tidak kuliah” demikian beliau memotivasi saya ketika kami bertemu di Pontianak saat saya mengikuti Seminar dan Lokakarya peringatan 75 tahun hadirnya Gereja Katolik di Kalimantan pada akhir September 1980.
Saya juga dekat dengan Bapak FX.Surato,BA (alm). Beliau tamatan AKI Madiun, ganteng dan ramah serta perhatian. Beliau sering minta saya ke rumahnya, sekedar minta belikan sayur dan keperluan lain, lalu saya sering makan minum di rumah beliau. Suatu saat saya demam, tidak bisa ikut ulangan vak beliau, Pendidikan Agama Katolik. Setelah agak sembuh dan masuk sekolah, saya minta ulangan susulan; beliau malah minta saya ke rumahnya di sore harinya. Ketika sampai di rumah, saya dimintai bantuan untuk bersih-bersih, tidak berat. Beliau bahkan sediakan minum, jajanan bahkan makanan. “Kamu tidak usah ulangan susulan Sa, nilai kamu sudah ada, tenang saja” seolah ingin mengungkapkan agar saya kuat makan agar cepat pulih dari sakit. Aku sungguh terharu dan berterima kasih. Setelah tamat SPG saya sempat pulang kampung, di sana saya sering sakit-sakitan. Suatu saat beliau mengantar isterinya, ibu Aloysia Nonong yang adalah perawat melakukan pengobatan di Desa Tapang Semadak dan saya ikut datang untuk berobat. Ketika melihat saya beliau bilang,”Sa, kamu tak cocok tinggal di kampung, lihat keadaanmu. Setelah agak sehat, kamu segera ke Sekadau tinggal di rumah saya. Saya diminta mengajar di SMP PGRI dan memberi les 7 anak SD di Pasar, tetapi saya tidak sempat, maka nanti kamu yang gantikan saya”, kata beliau meyakinkan saya. Saya yakin, sebenarnya beliau masih bisa membagi waktu waktunya, tetapi itulah cara beliau untuk menolong saya. Sejak saat itu saya mengawali karier saya sebagai guru, sebelum akhirnya pindah di SD Slamet Riyadi Sekadau. Sikap sosial dan peduli beliau luar biasa. Saya sangat berhutang budi.
Guru ke-3 yang dekat juga dengan saya adalah Bapak Steve Buan. Beliau juga sering minta saya datang ke perumahan guru di dekat Bengkel Bruder. Beliau ini hobi dan jago masak; saya sering dimintanya untuk belanja pada hari minggu atau hari libur, lalu kami makan bersama. Setelah beliau menikah dengan bu Akinengyati, ketika mereka pulang ke kampung Janang Ran saya diminta menunggu rumah, setelah Ika anak pertamanya lahir saya sempat mengasuh, sekedar mengawasi saat ibu keluar rumah. Saya sudah merasa menjadi bagian dari keluarga ini, saking akrabnya.
Di bagian lain, pak Steve Buan menginisiasi dibentuknya sebuah Kelompok Diskusi yang terdiri dari sekitar 25 orang, semua siswa/I SPG St.Paulus, dengan kegiatan diskusi dan rekreasi, dimana saya ada di dalamnya bersama Misi, Edris, Dion, Nadri, Anyek, Margareta,Iyoi, Yosefa Ase, Rosniwati, Susi,dll. Kami pernah kegiatan di Kebun Pastor di Sungai Ringin, ke Sei Ayak dan Lawang Kuwari. Melalui kegiatan itu kami membahas berbagai topik sosial kemasyarakatan yang aktual, untuk mengasah kepekaan dan sikap kritis terhadap persoalan-persoalan yang ada di sekitar kita. Waktu ke Sei Ayak Pastor Agustinus Agus (saat itu Pastor Paroki Sekadau) dan P. Ajung (alm) juga ikut mendampingi kami. Alangkah indah dan bermanfaatnya, ketika dimasa muda kita sempat memperoleh pembinaan dan penempaan cara berfikir, merasa dan bertindak yang dapat mempengaruhi cara kita melihat masa depan beberapa tahun kemudian. Saya sadar apa yang saya alami di masa SPG sangat berpengaruh dalam hidup saya, turut membentuk karakter saya, ketika saya memasuki dunia kerja, hidup bermasyarakat dan kegiatan menggereja.
Satu hal lagi yang turut menempa kami semasa SPG, selain kegiatan- kegiatan ekstra kurikuler di sekoah seperti Pramuka, Olah raga, Kesenian dan kegiatan kerohanian. Secara berkala kami yang ikut KGAK dilibatkan dalam kegiatan MERASUL, yaitu berkunjung ke stasi- stasi pada sabtu minggu, masa Prapaska dan masa adven. Kami belajar menjadi petugas liturgi dan mempersiapan ibadat atau Misa, bila bersama Pastor. Untuk kegiatan Merasul ini saya pernah ke Seberang Kapuas, ke Sei Bala melalui Setawar, Tapang Perodah dan Danau Raya, juga ke daerah Menterap, seperti Boti, Mondi dan sampai ke Kampung Odong.
Tidak kalah penting, ternyata kampus SPG St.Paulus Sekadau juga ikut andil menjadi arena pertemuan jodoh, tempat menemukan “Cinta Sejati”, dan membangun mahligai rumah tangga. Setidaknya sekitar 50 orang yang menemukan jodohnya di kampus ini dan umumnya masih langgeng sampai mereka menjadi kakek dan nenek. Setidaknya, ini daftar mereka yang sempat terdata.
Berikut ini daftar alumni yang menemukan cinta sejati nya di SPG St.Paulus Sekadau :
1). Encana Gelingging dan Yusta Anna ,2).Nyipa dan Emiliana, 3).Barinoto dan Dara, 4). Ahit dan Antonia, 5). Pompung dan Fasiana M, 6).Moses Clemen dan Warti, 7). Gunawan dan Lusia Luya, 8). Yosef Alim dan Hertin, 9). Andreas Paulus dan G.Onong, 10).Paulus Misi dan Yufita, 11).Triana dan Anten, 12).Thomas Gemura dan Sabina, 13).Kasim (alm) dan Nuraida, 14). Darius Doson dan Antan, 15).Diman dan Nyai, 16).Antonius Usen dan Deria Diana, 17). Ukel dan Trifosa Ales (alm), 18). Anyek Sugianto dan Firmina, 19).Rustam Effendi (alm) dan Yosefa Ase, 20). Antonius Yung dan Darna, 21). Ramli BT dan Firmina Iyoi, 22). Kosmas dan Immakulata, 23). Antonius Anton dan Kristina Dayang, 24). Adrianus Sabas dan Lukia Orita, 25). Robertus Ajon dan Theodata Rukiah , 26).Aris (alm) dan Tingan, 27). Y.A. Meran dan Martina Yati, 28). Markus Entong (alm) dan Theresia Pinum, 29). Samoitinus dan Magdalena, 30). Paulus Kadar (alm) dan Teresia Tisa (alm), 31). Kikok dan Mari (alm), 32). Teresia Indon dan Laja, 33). Paulus Timai dan Maria, 34). Laurensius Jangin dan Theresia Kuning, 35). Lorensius dan Elisabet, 36). Atoi dan Marselina, 37). Philipus dan Elisabet, 38). Nadrianus dan Sesilia Unse, 39). Neraca dan Lusia Ima, 40). Lasan dan Endang, 41). Filipus dan Theresia Kuyong, 42). Catus dan Nenong (alm), 43). Yohanes Ayub dan Agnesia Sanah, 44). Leo Apuk (alm) dan Elisabet Anyoi, 45). Lensen Silas dan Martina Dumol, 46). Elisabet Oyah dan Paulus Lion, 47). Akinengyati dan Steve Buan dan 48). Yusvia Basilisa dan Ign.Suharto
Aku juga menemukan “tambatan hati” di kampus ini; seraut wajah yang membuatku terpesona dan jantungku berdetak keras ketika bertemu dan memandangnya. Terbawa mimpi di malam hari. Raut wajah itu menjanjikan cinta dan kasih sayang, sehingga sempat dirajut benang- benang yang merona untuk suatu masa depan. Namun…, jalan hidup manusia sulit diramalkan.
Hari itu, di sudut kampus ini, di suatu senja yang temaram, kami bertemu saling berpandangan. Kami harus berpisah untuk sebuah masa depan; semua diam memendam rasa, sejurus kemudian wajah itu menjadi samar- samar, lalu hilang ditelan jarak, waktu dan zaman. Hanya tinggal kenangan; nostalgia. “Bila Bertemu Puaslah Hatiku”, seperti lirik lagu Gereja Tua, vokalnya Panbers.
oooooooooooo