![]() |
Sumber photo: IKN Time |
Di tengah riuhnya diskursus filsafat yang kerap berpusat pada warisan Yunani, muncul sebuah karya monumental yang dengan lantang menyuarakan: filsafat tidak hanya lahir di Agora Athena, tetapi juga di rumah panjang, hutan hujan tropis, dan tepian sungai Borneo. Buku Filsafat Dayak: Kajian Komprehensif Atas Manusia, Alam, dan Sang Ada hadir sebagai deklarasi intelektual bahwa masyarakat Dayak pun telah lama berfilsafat—dengan caranya sendiri yang holistik, ekologis, dan spiritual.
Buku ini resmi diluncurkan pada 20 Mei 2025 di Lupung Cafe, dalam lingkungan akademik yang hangat di Institut Teknologi Keling Kumang (ITKK) Sekadau. Acara peluncuran dihadiri langsung oleh Rektor ITKK, Dr. Stefanus Masiun, S.H., M.E., yang memberikan sambutan apresiatif atas hadirnya karya ini sebagai “buku babon” dalam sejarah pemikiran Dayak. Kegiatan ini dipandu oleh Direktur Dayak Research Center, Masri Sareb Putra, M.A., yang juga menjadi editor sekaligus kontributor dalam buku tersebut.
Disusun oleh tujuh penulis lintas disiplin—di antaranya Prof. Tiwi Etika, Ph.D., Dr. Patricia Ganing, Dr. Louis Ringah Kanyan, dan Alexander Mering, buku ini mengupas tujuh cabang filsafat: metafisika, epistemologi, logika, etika, estetika, filsafat politik, dan filsafat bahasa—semuanya dilihat dari dalam tubuh pemikiran Dayak sendiri. Inilah keistimewaan buku ini: ia bukan menafsir Dayak dari luar, tetapi memberi ruang bagi Dayak menafsir dirinya sendiri.
Dalam sambutannya, Masri Sareb menegaskan bahwa buku ini bukan sekadar pengantar filsafat lokal, tetapi karya filsafat yang sah secara metodologis dan relevan secara eksistensial. Ia mengurai bahwa dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Dayak, perenungan filosofis hadir lewat ritual, simbol, dan adat yang selama ini dianggap "tak tertulis", namun sarat makna ontologis dan aksiologis.
Dr. Stefanus Masiun menambahkan bahwa buku ini membuka jalan bagi pengakuan bahwa masyarakat adat pun memiliki sistem nalar tersendiri, yang tak kalah rasional dan mendalam dibanding tradisi Barat. Ia menyebut karya ini sebagai “lilin yang menerangi jalan panjang filsafat lokal lainnya.”
Bab-bab dalam buku ini mengajak pembaca menyelami bagaimana orang Dayak memandang keberadaan (ontology), memahami dunia (kosmologi), merumuskan kebaikan (etika), menilai keindahan (estetika), dan membangun masyarakat (politik). Bahasa Dayak pun dianalisis sebagai sistem makna dan representasi dunia, membuktikan bahwa rasionalitas tidak tunggal, dan pengetahuan bisa hadir dalam bentuk lisan, nyanyian, maupun ukiran.
Buku ini bukan hanya menyapa akademisi, tetapi juga siapa pun yang haus akan hikmat, keselarasan, dan jalan hidup yang berpijak pada akar kebudayaan. Ia mengajak kita menengok kembali suara-suara bijak yang selama ini dibungkam oleh modernitas: suara sungai, suara tanah, suara leluhur. Dan dari sana, mungkin kita belajar kembali: bahwa berfilsafat adalah berani bertanya—dan lebih penting lagi, berani mendengarkan.
Buku ini tidak hanya pantas dibaca. Ia perlu direnungi. Sebab dari hutan Borneo, lahir juga filsafat yang bisa menyelamatkan dunia.
Untuk yang ingin membaca buku ini dapat memesannya langsung dari distributor resmi anyarmart.com