Tak ada hasil yang ditemukan

    Niat Romantis, Tamat Tragis: Terjebak Banjir di Tengah Jalan


    Saya ingin membuat kejutan untuk istri.

    Sudah lama saya tidak pulang mendadak. Biasanya, kalau dari Sekadau, saya lewat Pontianak dulu. Menginap semalam di rumah anak saya di sana, baru esoknya terbang ke Ketapang. Tapi kali ini berbeda.

    Saya ingin langsung ke Ketapang. Tanpa transit. Tanpa memberi tahu istri.

    Kamis sore itu, 13 Oktober 2022, sekitar pukul 19.00 WIB, saya sedang dalam perjalanan. Naik mobil travel—Innova Reborn. Sopirnya, Avin. Kami sudah sampai di Aur Kuning, Sei Laur. Saya kirim pesan ke istri: "Saya sampai rumah kira-kira jam 12 malam. Tolong jangan kunci pagar dan pintu rumah."

    Centang dua. Tapi tidak dibalas.

    Saya pikir HP-nya lowbat. Atau dia lagi mandi. Tapi bahkan saat mobil melintas Jembatan Tayan—jembatan kebanggaan Kalimantan itu—saya sempat ambil foto dan jadikan status WhatsApp. Tidak ada tanggapan juga.

    Ternyata, dia kira saya salah kirim. Dia pikir pesan itu untuk anak kami, Primus, di Pontianak. Karena memang biasanya saya pulang lewat sana.

    Saya ingin hemat.

    Harga tiket pesawat Pontianak–Ketapang sekarang tidak masuk akal. Rp 1,1 juta lebih. Padahal jaraknya cuma 35 menit terbang. Dulu Rp 300.000–600.000 cukup. Kadang malah cuma Rp 280.000.

    Bandingkan dengan Pontianak–Jakarta yang pernah saya beli cuma Rp 700.000. Pakai Citilink atau Lion Air. Padahal itu terbang lebih dari satu jam.

    Jadi saya putuskan naik jalur darat dan air. Lebih murah. Tapi ya itu, lebih lama. Travel darat Rp 350.000. Naik speedboat via Sukadana malah lebih murah: Rp 300.000, sudah termasuk jemputan dari Ketapang ke pelabuhan.

    Malam itu, jam 20.30, kami sudah sampai di Nanga Tayap. Kota kecamatan sebelum Ketapang. Tapi jalanan padat. Mobil-mobil parkir sembarangan. Truk besar, pikap, bahkan mobil pribadi.

    "Kayaknya kita kena banjir, Pak," kata Avin. Dia turun, ngobrol dengan sesama sopir. Saya ikut.

    Ternyata benar. Kota dilanda banjir besar. Tiga titik utama—tingginya bisa sepinggang, bahkan seleher orang dewasa.

    Kami berdiri di depan Warung Lek Agus. Air mengalir deras seperti sungai. Beberapa warga bilang, kemarin ada dua mobil nekad menerobos. Hampir hanyut.

    Lewat Jalan Panjang? Tidak bisa juga. Daerah Sungai Kelik lebih parah. Semua akses ke Ketapang terputus.

    Saya kirim pesan ke istri lagi: "Tidak jadi pulang malam ini. Kena banjir besar di Tayap."

    Dia baru kali ini balas cepat: "Hati-hati ya. Jangan maksa."

    Saya belum makan sejak siang. Di Simpang Ampar tadi hanya sempat minum teh. Perut melilit. Akhirnya kami kembali ke Warung Lek Agus. Untung masih buka. Tapi makanan sudah nyaris habis. Tinggal dua menu: nasi goreng dan bakso. Saya pilih nasi goreng dan teh hangat. Harganya Rp 24.000. Mahal? Ya. Tapi saya tidak bisa tawar lapar.

    Warung penuh. Banyak orang juga tersangkut banjir. Tapi Lek Agus tersenyum lebar. Hari itu, dia cuan besar. Warung buka sejak pagi. Jualan laris manis.

    Di luar, beberapa warga sudah berubah profesi jadi “tukang tambang”. Mereka buat rakit dari drum plastik. Angkut motor dan orang. Sekali angkut Rp 100.000. Untuk mobil kecil? Ada tronton yang siap angkut—biayanya Rp 500.000.

    Saya tanya ke Avin, "Mau nekat?"

    "Belum, Pak. Bahaya."

    Kalau lewat jalan kampung di Tanjung Asam?

    "Bisa sih, tapi licin dan berlumpur. Kalau kita sendiri, rawan. Lagian malam."

    Akhirnya, kami parkir mobil di depan toko “Serba 35 Ribu”. Sebelahnya ada surau. Banyak mobil parkir. Beberapa orang tidur di emperan, di surau, atau dalam mobil. Saya pilih tidur di kursi depan. Samping sopir. Kurang nyaman. Tapi ya, dinikmati saja.

    Malam itu, suasana Nanga Tayap seperti kamp pengungsi. Tapi ini bukan pengungsi perang, ini pengungsi banjir.

    Pagi-pagi, saya ke WC surau. Air habis. Antri panjang. Balik lagi ke warung Lek Agus. Banjir ternyata surut, tapi baru 20 cm. Belum bisa lewat.

    Saya mampir ke kantor CU Pancur Solidaritas. Sempat selfie di sana. Nostalgia. Itu kantor yang dulu saya resmikan tahun 2006, waktu saya masih jadi ketua. Sekarang sudah megah.

    Jam 07.00, Avin telepon. Kami sepakat berangkat pukul 08.00. Konvoi lima mobil. Lewat Tanjung Asam.

    Benar saja. Jalannya parah. Berlumpur. Licin. Mobil tidak bisa papasan. Di satu titik, dua truk sawit menyerah. Balik arah. Tapi kami terus.

    Mobil yang saya tumpangi, Innova Reborn, sempat mengular. Tapi berkat kerjasama penumpang dan sopir, bisa lolos. Mobil paling depan, Suzuki Ertiga—penggerak ban depan—justru paling tangguh.

    Sekitar pukul 15.00, akhirnya kami tiba di Ketapang. Hampir 30 jam sejak berangkat dari Sekadau.

    Capek? Pasti. Tapi ya itu, semua dinikmati saja.

    Perjalanan kali ini bukan sekadar perjalanan.

    Ini pelajaran.

    Dan kenangan. ***

    Lebih baru Lebih lama

    نموذج الاتصال