Tak ada hasil yang ditemukan

    Ayahku dan Kegigihannya Menyekolahkan Kami

     Oleh : R.Musa Narang

    Pengantar :

    Artikel ini dibuat dalam rangka penulisan Buku Antologi tentang Kumpulan Perjuangan Para Ayah untuk keluarga kecilnya, berjudul : Lermbaran Nakhoda yang disunting oleh Mufid bersama Alineaku Publisher.








    Malam itu, 4 Juni 2012. Ayahku Markus Nerang, yang sehari- hari dipanggil Rurut, baru saja menonton TV bersama anak cucunya di depan rumah. Sekitar pk. 20.30 ia pamit, mengaku mengantuk dan ingin istirahat. Sekitar setengah jam setelah masuk ke Toko kecil, yang sekaligus menjadi rumahnya, ayah berteriak minta tolong. Anggota keluarga yang sedang menonton TV di depan warung di pinggir jalan besar Sekadau- Sintang itu berhamburan untuk menolongnya, tetapi kios itu sudah dikunci dari dalam. Dengan susah payah Ayah turun dari tempat tidurnya untuk membuka pintu; namun begitu ia berhasil membukakan pintu, suara mengaduhnya lenyap. Ayah pingsan, dan malam itu juga baru sekitar 20 menit tiba di Rumah Sakit, ayah berpulang dalam usia 74 tahun.

    Kami anak-anaknya yang berjumlah 9 orang, 5 perempuan dan 4 laki-laki sungguh merasa kehilangan sosok ayah yang gigih dan pekerja keras untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Ibu kami bernama Teresia In’a, telah duluan berpulang 17 tahun sebelumnya atau tepatnya pada 5 Oktober 1996 dalam usia 59 tahun karena serangan jantung. Sejak ibu meninggal, ayah tidak pernah mencari pengganti ibu. Ia tipe suami yang setia sampai mati.

    Ayah dan ibu kami tidak pernah mengenyam bangku sekolah, tidak berpendidikan. Itulah sebabnya ayah selalu bilang, “kalian anak-anak bapak dan ibu, kelak kalau sudah dewasa tidak boleh memiliki kehidupan yang sama seperti kita saat ini yang serba berkekurangan; jangankan membeli itu- ini, untuk makan hari- hari saja sudah susah. Oleh sebab itu kalian semua harus sekolah yang bagus dan tinggi” tandas ayah, yang juga diamini oleh ibu. Memang, hampir setiap tahun dari bulan Oktober sd. Januari kami mengalami kekurangan makanan atau paceklik.karena stok padi hasil ladang sudah habis dan kami harus beli beras yang harganya nyaris tak terjangkau bila dibandingkan dengan harga karet (latex) yang dapat kami jual. Mata pencarian orang tua kami adalah berladang dan menyadap karet yang hanya 3 – 4 kg setiap paginya, kalau cuaca baik. Pada musim paceklik itu, tidak jarang kami harus makan singkong yang dicampur dengan sedikit nasi. Sering juga kami harus menahan lapar, sampai hasil sadapan karet pagi itu dijual “basah-basah” ke tempat toke penampung karet kami.

    Ketika tamat SD, kami beradik lelaki yang terdiri dari 4 orang, semua tinggal di asrama dan sekolah di sekolah Swasta, Saya di SPG dan 3 adik saya di SMP. Biaya sekolah dan asrama kami sering menunggak. Kalau sudah masuk 2 bulan menunggak, maka kami harus pulang untuk ambil ongkos atau membayar tunggakan. Kalau Ayah tidak ada persediaan uang di rumah atau persediaan karetpun tidak ada, maka kami harus menyadap karet lebih dulu, kadang- kadang terpaksa berminggu-minggu sampai uangnya cukup dan sekolah memberi ijin. Ketika di tingkat SLTA, kami harus sambil kerja, kerja apa saja untuk membantu meringankan beban ayah. Begitu besar pengorbanan Ayah dan ibu agar kami bisa sekolah, kadang- kadang orangtua kami harus menjual apa saja yang dapat dijual sehingga menghasilkan uang untuk biaya sekolah kami. Pernah sekali ayah piara kambing, sudah ada 3 ekor dengan anaknya, semua harus dilego untuk biaya sekolah, sampai- sampai mereka tak sempat menikmati binatang piaraannya; pernah juga ayah harus menjual rangka sepeda yang sudah tidak dipakai, semua dijual untuk biaya sekolah anak-anaknya. Ayah tidak pernah jemu memotivasi kami untuk tetap sekolah, sekalipun dalam keadaan serba berkekurangan, bahkan dalam keadaan miskin yang ekstrim, untuk tidak boleh putus sekolah.

    Kami beruntung, karena toke kami yang bernama Apun, seorang Tionghoa di kampung adalah seorang partner Ayah yang baik dalam menyekolahkan kami. Ia selalu berusaha menyediakan uang yang diperlukan Ayah untuk biaya kami, bahkan kalau hasil karetnya tidak cukup, maka ayah minta lebih agar tunggakan biaya sekolah dan asrama kami bisa terbayar, dengan berhutang dengan Pak Apun. Beliau percaya kepada Ayah kami, walaupun kalau harga karet ditukar dengan uang, harganya lebih tinggi dibandingkan bila ditukar dengan barang.

    Syukurlah ketika kami dewasa kami dapat dikatakan berhasil mewujudkan impian ayah dan ibu; semua tamat SLTA bahkan 1 berpendidikan S3 dan sekarang menjadi Rektor sebuah Perguruan Tinggi Swasta yang mereka dirikan di kota tanah kelahirannya. Sedangkan 3 orang yang berpendidikan S2,  masing- masing sebagai dosen di Universitas Negeri terkenal di daerahnya, dosen Perguruan Tinggi Swasta serta pensiunan Guru SMA. Lebih jauh 2 dari 9 bersaudara itu  sempat mengenyam Pendidikan di luar negeri, di Amerika dan Canada.###


    Lebih baru Lebih lama

    نموذج الاتصال