PENGALAMANKU TINGGAL DI ASRAMA
Di Asrama Putra St.Gabriel Sekadau
(Januari 1974 sd. Desember 1977)
1. Lanting Pastor dan belajar mandi pagi.
Pada tanggal 1 Januari 1974, saya berangkat dari kampung Tapang Sambas ke Sekadau diantar ayah untuk melanjutkan studi ke SMP St.Gabriel Sekadau. Kami naik sepeda yang belum lama dibeli ayah dari seorang kenalannya, seorang Tionghoa di Sei Ayak. Dengan membawa barang dan perbekalan seadanya, ayah mengantar saya ke Asrama St. Gabriel Sekadau, yang berada di lantai 2 gedung SMP St. Gabriel Sekadau yang berada di lokasi yang disebut Tanah Simpang tiga, bersebelahan dengan Lapangan Bola E.J. Lantu Sekadau. Tanah tempat dibangunnya gedung “SMPK”,demikian sekolah ini biasa disebut berasal dari hibah Partai Persatuan Dayak atau PD ke Pemimpin Gereja Katolik, Prefektur Apostolik Sekadau yang saat itu dijabat oleh Mgr.Michaell De Simone, CP. Menurut cerita tetua Dayak, yang juga pengurus PD saat itu, Matius Biong (alm) yang pernah diundang Paus Paulus VI, untuk menerima medali Kepausan “Ordo Gregorius Agung” pada tahun 1970an, tanah dan Gedung PD yang digunakan untuk gedung SPG diserahkan ke Gereja Katolik, karena mereka menilai Gereja Katolik telah berbuat banyak untuk masyarakat Dayak, terutama melalui pendirian sekolah- sekolah dari SD, SLTP dan SLTA (SPG) saat itu.
Saya diterima dengan baik oleh petugas pendaftaran dan dipersilahkan untuk memlih “kavling” meletakkan tikar alas tempat tidur dan bantal yang saya bawa. Saya bersama FX.Omeng teman sekampung dan Anus dari Gonis Rabu, memilih tempat yang tidak jauh dari tangga, juga dekat dengan Bang Nikodemus Ansek sepupu saya dan Donatus Melan Om saya, yang saat itu masing- masing sudah duduk di kelas 2 dan kelas 3 SMPK. Mereka berdua inilah yang membantu mengarahkan dimana sebaiknya kami memilih kavling tempat tidur. Untuk diketahui, asrama ini tidak memliki bed tempat tidur, karena asrama ini hanya berupa los besar yang bisa menampung sekitar 250an orang, bagi siswa SMPK dan SPG St.Paulus Sekadau. Kami tidur “belampar” dalam 3 ber-sab besar, dan dibagian kepala sebagai tempat meletakkan barang- barang pribadi, seperti tas atau koper (bagi yang memiliki) dan peralatan mandi. Ini merupakan suasana baru dan asing buat saya. Malamnya kami para penghuni baru di-“briefing” oleh pengurus asrama tentang tata tertib, termasuk untuk mandi, Cuci dan Kakus (MCK).
Malam itu untuk pertama kalinya saya menikmati yang namanya “lampu listrik”, sebelumnya di kampung kami menggunakan lampu pelita / teplok atau kalau ada acara penting, orang kampung menggunakan “lampu Strongkeng” atau yang dikenal juga dengan nama Petromax. Keluarga kami juga punya lampu strongkeng ini, tetapi kalau tidak ada acara penting lampu ini tidak dinyalakan, sebab hanya bapak yang pandai menyalakannya karena untuk menyalakan lampu ini perlu ketrampilan khusus. Bila dilakukan oleh orang yang tidak trampil, bisa tidak berhasil dinyalakan atau bahkan bisa menimbulkan kebakaran. Itulah sebabnya bapak selalu mewanti- wanti kami anak- anaknya, untuk tidak menyalakan lampu ini kalau bapak tidak ada. Pernah terjadi ketika Bapak dan Ibu ke ladang, saya mengajak Munal adik saya untuk menyalakan lampu ini di siang hari dengan tujuan untuk belajar. Ketika saya sedang mencoba menghidupkan lampu tersebut, apinya tiba- tiba membesar tak terkendali dan sempat menyambar paha adik saya Munal yang berada dekat saya dan memperhatikan saya menghidupkan lampu. Akibatnya, pahanya mengalami luka bakar; saya takut dan kasihan melihat adik yang kesakitan. Sudah dapat dibayangkan, ketika bapak datang dari ladang dan Munal memberi laporan, saya kena damprat habis-habisan.
Pk.11.00 malam lampu asrama dimatikan dari Pusatnya di Pastoran, yang jaraknya sekitar 200 m dari asrama. Mereka bilang, orang yang bertugas menghidupkan dan mematikan listrik di Kompleks Pastoran dan asrama itu adalah Lukas Paul dari Penyelimau dan Yosef Taban dari Serampuk. Mereka tinggal dan hidup di Pastoran (dibiayai Pastor), tetapi juga sekolah di SMP atau SPG. Ketika lampu dimatikan, suara anak asrama riuh rendah dan ribut, sampai akhirnya ada petugas asrama yang meminta tenang dan jangan mengganggu teman lain yang sudah mau tidur. Saya susah tidur dan ada rasa takut, bagaimana kalau saya mau pipis apakah harus membangunkan teman, sedangkan saya tidak punya lampu senter. Beberapa teman ada yang memiliki lampu senter kecil. Di sini buang air kecil harus ke WC di asrama yang hanya 2 kamar, itupun hanya 1 yang boleh dipakai anak asrama, sedangkan yang satunya kusus untuk pembina asrama. Akibatnya banyak anak asrama yang turun ke lantai 1 menggunakan WC guru yang tidak terkunci atau “nembak” di luar seperti di kampung yang buang air menggunakan “WC alam”. Setelah beberapa tahun mengalami mati lampu saat tidur malam, menjadi terbiasa, biasa dan nyaman. Bahkan setelah keluar dari asrama dan dewasa, saya tidak bisa lagi tidur dengan lampu menyala. Ketika harus tidur sekamar dengan teman, di hotel misalnya maka saya harus permisi dengan teman bahwa lampu kamar tidur harus dimatikan, kecuali sinar lampu yang tidak langsung. “Kalau masih ada sinar lampu langsung, saya sulit tidur” kataku pada teman sekamar.
Pk.05.00 pagi ternyata lampu kembali menyala, padahal lagi enak-enaknya tidur. Ketua Asrama membangunkan kami, yang masih baring dibangunkan karena ada doa singkat “doa bangun tidur”. Begitu selesai do’a, anak asrama “beterobas” ambil handuk dan ember sabun dalam suasana masih agak gelap, tujuannya mandi di Lanting Pastor di sungai Kapuas, karena pada pk. 05.30 anak asrama wajib mengikuti misa pagi di Gereja yang jaraknya sekitar 150 m dari asrama. Anak asrama yang jumlahnya ratusan ini, seperti bebek menuju ke Lanting Pastor atau beberapa jamban yang lagi kosong dekat Lanting Pastor. Awalnya enggan mau mandi pagi, karena suasana dingin; tetapi melihat teman- teman senior lansung mencebur ke sungai atau mandi betimba, saya merasa malu juga dan mengikuti cara mereka. Di kampung juga bangun pagi, bedanya tidak seperti lagu “bangun pagi ku terus mandi, tidak lupa menggosok gigi”, tetapi “bangun pagi ku terus pergi, menyadap karet di kebun kami…”. Setelah menyelesaikan kavlingan sadapan yang telah dibagi oleh bapak, baru boleh pulang dan mandi, terus sarapan dan pergi ke sekolah. Kalau pergi ke sekolah tanpa menyelesaikan karet sadapan yang telah ditentukan, akibatnya bisa runyam: kena marah dan bisa terancam tak dapat jatah makan. Siapa berani?
Pagi itu, Lanting Pastor menjadi saksi bahwa saya sudah bisa mandi pagi, walaupun air sungai Kapuas tampak tidak jernih dan banyak sampah, bahkan sering mengeluarkan bau amis dan bau tidak sedap, termasuk kotoran manusia yang berterapungan keluar dari jamban di bagian hulu. Namun anak asrama enteng saja sikat gigi dan menggunakan air itu untuk bersabun. Mungkin itulah yang disebut “alah bisa, karena sudah biasa”. Untuk diketahui, Lanting adalah sejenis rumah terapung atau tempat hunian di sungai. Di Lanting Pastor ini ditambat sejumlah spit boat milik Pastor atau Prefek dan sebuah Kapal Motor Bandung juga milik Pastor atau Prefek yang digunakan untuk transportasi kegiatan pastoral dan juga keperluan lainnya.. Sejumlah siswa SPG pernah dipercaya untuk menjaga harta milik Pastor ini, seperti P.Lukas Ahon dan P. Gregorius Sabinus (alm). Seperti Lukas Paul dan Yosef Taban, mereka yang bekerja dengan Pastor ini, biaya hidup dan sekolahnya juga ditangung Pastor. Enaknya tinggal di Lanting, bisa memancing dan cari ikan sepanjang hari, susahnya selalu kena gelombang akibat lalu lalangnya kapal motor yang besar.
![]() |
Asrama Putra St. Gabriel, di lantai 2 Gedung SMPK |
Pagi pertama di asrama hari itu, saya berhasil mengikuti semua kewajiban pagi : mandi, misa, sarapan, baru ke sekolah. Memang, “the beginning is difficult”; permulaan itu sulit. Semua harus dilakukan secara “sat set” dan gerak cepat atau gercep! Puji Tuhan.
Makan tepung kacang dan “tekincit”
Hari pertama sarapan di asrama pada 2 Januari 1974, menu sarapan kami adalah “tepung kacang” kata teman-teman. Bentuknya abu-abu putih liat, seperti tepung yang dicampur air untuk bikin kue. Setelah dirasa, sungguh tidak enak untuk lidah orang kampung yang terbiasa makan nasi saat sarapan pagi. Menurut informasi, makanan itu adalah bantuan dari Gereja Amerika (para uskup Amerika) melalui badan amal Catholic Relief Service (CRS). Tidak ada pilihan lain, saya harus mencoba memakannya karena perut lapar. saya melihat kakak- kakak kelas mampu memakannya sampai habis, sepertinya karena mereka sudah mulai terbiasa memakannya setiap pagi. Saya tidak mampu mengabiskannya, saya lihat- teman- teman penghuni asrama yang baru seperti saya, juga mengalami hal yang sama; sarapannya tidak habis. Ketika sampai di kelas, perut saya terasa kurang enak, rupanya perut saya belum bisa meneria kehadiran tepung kacang. Terasa kembung dan mau “kentut”, dikentutkan malu kalau kedengaran dan keciuman di kelas. Tetapi rasa mau kentut itu semakin ditahan, semakin “ngebet” mau keluar; ketika dikeluarkan sedikit sambil dirapatkan dubur, eh akaidai … bukannya berkurang bunyinya, malah makin kuat dan disertai bunyi “pret”. Tekincit! Mati…. malunya tidak “ketulungan”!
Saya juga rindu minum kopi di waktu pagi, karena kalau di kampung setelah selesai menoreh karet, ibu selalu menyediakan kopi hangat buat kami, bersama nasi dan lauk- pauk yang lezat. Di kampung biasanya, setelah makan pagi barulah mandi dan dilanjutkan pergi ke sekolah. Ketika saya di SD Negeri Tapang Semadak, pelajaran baru dimulai sekitar pk.10.00 WIB, sebab para guru juga masih menorah karet sebelum mengajar. Nah, Apa mau dikata, kerinduan tinggal kerinduan, di sini tidak ada pilihan. Syukurlah setelah beberapa minggu, saya mulai terbiasa sarapan pagi tanpa minum kopi.
Beberapa tahun kemudian, tepung kacang tidak ada; sebagai gantinya adalah Bulgur. Dibandingkan tepung kacang, bulgur lebih enak dan tidak ada penolakan dari tubuhku. Apalagi bila dibuat bubur dan dicampur gula akan lebih enak. Ayahku di kampungpun sempat membeli bulgur ini. Pada musim paceklik, nasi dicampur bulgur sering kami lakukan saat liburan sekolah di kampung.
Diserang tumak
Setelah tiga minggu tinggal di asrama, ketika saat tidur malam ada hal yang membuat kami sulit tidur karena sekujur tubuh gatal. Ternyata hal itu tidak hanya dialami saya sendiri; hampir semua deretan tempat tidur kami mengalami penyakit yang sama. Ke esokan harinya saat bangun pagi, salah seorang teman saya menemukan banyak binatang asing di selimutnya, bentuknya seperti kutu kepala dan sebesar kutu kepala tetapi warnanya putih. Ternyata itulah yang disebut tumak, konon ada seorang teman yang “membawanya secara tidak sengaja” dari kampung, dari hulu sungai sekadau.
Bagaimana membasminya? Kata kakak- kakak kelas,” semua selimut dan pakaian dan handuk harus direbus dengan air panas bagi satu deretan tempat tidur penghuni asrama yang berdekatan. Dan itulah yang kami lakukan. Sebenarnya kalau ada strika juga bisa, tetapi saat itu tidak ada strika di asrama kami. Jadi dapat dibayangkan, disamping terancam diserang tumak, tetapi pakaian juga (terutama anak SMPK) tidak pernah di sentuh setrika. Berbeda dengan anak SPG, mereka lebih rapi bahkan necis. Itu karena mereka sudah mulai pandai “ngurat”, kata kakak kelas saat itu. “Ngurat” adalah istilah untuk usaha dari seseorang, biasanya laki- laki agar menarik perhatian para wanita, terutama cewek yang ditaksirnya.
Main kaleng kepala benjol
Suatu Saat listrik asrama mati, seharusnya antara pk,19.00 – 20.30 WIB jadualnya adalah studi : Belajar dan mengerjakan pekerjaan rumah. Tetapi karena listrik mati, maka kegiatan studi terpaksa ditiadakan. Anak- anak asrama, terutama yang SMP malah senang dan berhamburan keluar ruangan belajar sambil berteriak. Saya dan Jompau asal kampong Mondi mengajak beberapa teman untuk “main kaleng”. Caranya, yang kalah melalui “hom pim fa” (undian melalui jari- jari : ibu jari, telunjuk dan kelingking) dia harus jaga kaleng kosong yang diletakkan telungkup. Teman- teman mainnya bersembunyi dalam kegelapan malam, sambil mencari kesempatan si penjaga kaleng lengah sehingga ia dapat menendang kaleng yang dijaga, tetapi bila si penendang berhasil ditangkap dan dikenali sang penjaga, giliran yang kena tangkap harus ganti jaga kaleng.
Nah saat itu, saya kalah dan harus jaga kaleng. Saya mengamat- amati dimana teman- teman saya bersembunyi. Saat saya sedang meninggalkan kaleng untuk memergoki persembunyian teman saya supaya dia ganti jaga, ada sosok mendekat dan saya secepat kilat berbalik kembali agar kaleng tidak berhasil ditendang, … yang terjadi adalah dari posisi mengendap endap dan agak membungkuk, kepala kami beradu dengan keras, “paaaak…buk!”, kami terjatuh ke tanah dengan pandangan berkunang- kunang dan kepala kami di arah dahi sama- sama benjol. Akai…. dai, sakitnya. Ternyata lawan bertubruk saya adalah Jompau. Sakit, tetapi kenangan itu tidak pernah membuat kami lupa. Setiap kami berjumpa setelah dewasa, yang ditanya “ingat mada waktu kita duak “beterapak” saat main kaleng marik tih ?” dalam dialek Sekadau.
Takut pergi kencing, orang mati tenggelam dikubur dekat asrama
Suatu hari, ada orang mati tenggelam di daerah hulu Nanga Sekadau. Sudah 2 hari dilakukan pencarian, tetapi belum ketemu. Pada hari ke-3 itu berhasil ditemukan, setelah hanyut jauh ke hilir dan nyangkut di jamban sebelah hulu Lanting Pastor. Mendengar berita itu, anak asrama putra berbondong- bondong pergi ke pasar, tempat mayat ditemukan, Mayat itu seorang lelaki dan sudah bengkak besar dan menimbulkan bau yang sangat menyengat. Kata orang konon kalau jenazah lelaki, ketika timbul di air dia tengkurap, sedangkan kalau jenazah perempuan dia telentang. Betul tidak ya? Polisi dan para petugas sibuk mengangkat jenazah itu dari jamban dan dinaikkan ke jalan raya. Sekalipun bau nya menyengat, tetapi beberapa anak asrama putra itu tetap nekat ingin mendekat untuk menyaksikan dari dekat.
Tidak lama kemudian ada info bahwa jenazah orang mati tenggelam itu akan dikuburkan tidak jauh dari asrama; tepatnya di pinggiran lapangan sepak bola E.J.Lantu, arah kantor Polsek sekarang. Tidak ada orang lain dikuburkan di situ, selain orang yang mati tenggelam itu. Jaraknya dari asrama hanya sekitar 150 meter. Malam- malam ketika mau kencing ke bawah, banyak anak asrama yang tidak berani turun sendirian; mereka terpaksa membangunkan beberapa teman sekedar untuk buang air kecil.
Lagi masak pakai kaleng bekas datang pastor, lari tebirit-birit
Kegiatan penghuni asrama sepulang sekolah adalah makan siang; sering masih harus menungu lama, padahal perut sudah sangat lapar. Ini karena petugas masak juga sesama anak asrama yang juga baru pulang sekolah. Terkadang anak- anak asrama sudah bergerombol di depan pintu ruang makan, menunggu pintu ruang makan dibuka. Selesai makan ada waktu istirahat, untuk kemudian pada pk.15.00 WIB kegiatan anak- anak asrama adalah kerja kebersihan di lingkungan asrama, masak untuk makan malam bagi yang tugas piket serta cari kayu bakar ke hutan. Untuk diketahui, dapur asrama masih mengunakan kayu bakar, yang kayunya harus dicari ke hutan yang cukup jauh dari asrama. Tidak jarang sudah sulit cari kayu bakar, oleh sebab itu ada teman- teman yang berakal dengan menebang beberapa pohon yang masih hidup, untuk kemudian diambil pada kesempatan berikutnya. Sering terjadi juga, anak- anak asrama yang mencari kayu bakar dimarah oleh yang punya lahan karena mencari kayu di tanah milik mereka. Bila sudah susah cari kayu di suatu tempat, maka kayu- kayu yang masih hiduppun dibawa ke asrama. Akibatnya, sulit menghidupkan api untuk masak di dapur asrama, karena kayu bakarnya masih basah dan masih hidup. Pekerjaan mencari kayu bakar masa itu adalah momok bagi anak asrama.
Ada juga seninya pergi ke hutan cari kayu bakar. Saat cari kayu bakar, kadang- kadang dijumpai hal- hal yang “dianggap rugi” kalau tidak dianfaatkan. Seperti suatu sore, beberapa anak asrama menemukan buah cempedak muda, ketika mereka melewati “bawas” muda mereka menemukan pucuk daun genjer yang lagi enak-enaknya kalau disayur, tambahan lagi mereka berhasil menangkap beberapa ekor ikan ketika melewati sungai kecil di hutan. Jadilah, disamping kayu bakar, mereka juga membawa beberapa buah cempedak muda, pucuk daun genjer dan beberapa ekor ikan. Sesampai di asrama, setelah menyetorkan kayu bakar mereka sepakat memasak hasil buruannya. Simpel saja, bahan-bahan tadi mereka masak dengan menggunakan kaleng bekas, di belakang asrama sambil mereka santai bercengrama. Ketika bahan masakan sudah hampir matang, terdengar motor Pastor Vincent mendekati masuk kearah asrama. Pastor Vincent adalah pemimpin Asrama Putra, tetapi tinggalnya di Biara. Saat itu seharusnya agenda anak asrama adalah Ibadat di Gereja. Maka anak- anak yang tidak ikut ibadat di gereja berusaha berlari dan sembunyi, sedangkan anak- anak yang lagi asyik mengolah hasil hutan di belakang asrama itu, lari terbirit- birit menjauh dari asrama dan dari pantauan Pastor. Ketika Pastor Vincent sampai di belakang asrama, dia menyaksikan api yang masih membara, sedangkan anak-anak yang tadi memasak telah menghilang. Pastor Vincent tinggal geleng- geleng kepala.
Kencing dekat tiang listrik, “barangnya” nyaris ditarik “hantu”
Suatu malam ada 2 penghuni asrama, buang air kecil di halaman asrama dekat pagar hidup asrama, yang sekaligus juga pagar hidup sekolah. Di antara pagar hidup itu ada tiang listrik PLN. Malam itu teman yang satu kencing dengan “menembak” tiang listrik, sedangkan teman yang lain kencing di sebelahnya. Tiba- tiba teman yang “ngencingi” tiang listrik berteriak “hantu!”. Proses buang airnya belum juga kelar, mereka dua segera menjauh. “Mana, mana!”, kata temannya. “Itu lho, barangku terasa ada yang narik ke arah tiang listrik, barangkali hantunya bersembunyi di situ !”
Mendengar itu, temannya ketawa ngakak. “Kamu ini bikin kaget saja. Jelas itu bukan hantu, tetapi nampaknya ada kabel listik yang bocor sehingga mengalir ke tiang listrik. Ketika kamu kencingi tiang itu, maka kamu nyaris kena setrum aliran listrik”. “Ayo kita selesaikan kencingnya” ajak temannya.
Cari kayu jonger untuk pagar sekolah dan buah maram pesanan dari asrama putri
Suatu saat ada tugas dari sekolah. Setiap siswa SPG baik putra maupun putri diminta harus menyerahkan masing- masing 2 batang kayu Jonger untuk pagar sekolah paling lambat 5 hari setelah diumumkan. Adapun jumlah siswa SPG St.Paulus Sekadau saat itu sekitar 250 orang. Dengan demikian akan terkumpul sekitar 500 batang kayu Jonger.
Selesai pengumuman, para cewek terutama yang tinggal di Asrama Putri banyak yang datang ke para cowok agar dibantu carikan 2 batang Jonger untuknya. Sebagian cewek lain, janjian dengan para cowok agar mereka dapat cari Jonger bersama ke tempat dimana banyak kayu Jonger, tetapi mereka minta bantu untuk dipikulkan sampai sekolah. “Belayan Jonger” itu banyak terdapat di daerah Jalan Rawak; untuk ke sana melewati Asrama Putri. Para cowok yang umumnya dari Asrama Putra itu senang saja menolong mencari atau memikul Jonger untuk para cewek, apalagi kalau itu untuk pacarnya. Menariknya, ketika mereka berangkat ke hutan Jonger, para cewek itu minta dicarikan buah asam maram sebagai sebuah oleh- oleh; untuk para cewek yang sempat ikut cari Jonger ke hutan malah mengutamakan untuk cari buah asam maram; di lain pihak tentu saja senang karena dapat bersama “si Dia”. Itulah seni dan indahnya masa remaja.
Kawah sayur direnangi bebek tetangga
Suatu saat, giliran kelompok saya tugas masak. Jam 02.00 subuh ketika mata masih enak- enaknya tidur, kami dibangunkan oleh Ketua Kelompok masak untuk mulai pekerjaan memasak nasi dan sarapan untuk anak asrama pagi itu. Setelah menghidangkan sarapan, kami sepakat untuk langsung memasak sayuran untuk makan siang, sehinga ketika pulang sekolah kami tinggal memanaskannya saja lagi. Nasi dan sayur asrama untuk sekitar 250 an orang penghuni, dimasak masing- masing dengan menggunakan kuali besar atau yang sering disebut kawah.
Nah, ketika kami keluar kelas saat istirahat ke-2, seorang teman anggota kelompok masak sempat melihat ke dapur dari luar melalui celah- celah dinding kawat dapur. Ternyata ada sekelompok bebek masuk dapur asrama melalui lubang atau celah-celah pembuangan air bekas cucian ke arah comberan ke luar. Sejumlah bebek itu naik dan berenang serta memakan sayur yang ada di kawah anak asrama. Padahal, biasanya jarang ada bebek tetangga yang masuk ke lingkungan asrama, sehingga celah pembuangan itu tidak sempat terdeteksi oleh tim masak. Apa boleh buat, siang itu tim masak kami harus kerja ekstra untuk menyiapkan makan siang buat penghuni asrama.
“Nadae makae nasiek angaek agik”
Suatu sore Pastor Vincent meminta beberapa anak Asrama Putra St.Gabriel untuk mengantar jenazah seorang anak yang meninggal dunia setelah dirawat beberapa lama di Puskesmas Sekadau ke Selalong. Anak ini hanya ditemani oleh ayah dan ibunya selama dirawat di Puskesmas. Ketika meninggal dunia, maka tidak ada orang yang dapat membantu kedua orangtua tersebut untuk mengusung jenazah anaknya kembali ke Selalong. Ada 10 orang anak asrama, termasuk saya yang akan membantu mengantar jenazah tersebut. Kami tidak membawa bekal apa- apa seperti pakaian ganti, karena menurut ketua rombongan kami akan kembali ke asrama malam itu juga, setelah selesai mengantarkan jenazah karena jarak Asrama Putra ke Selalong hanya sekitar 5 km.
Namun setelah sampai di sana, kami tidak di ijinkan pulang karena harus menunggu keluarga duka menyiapkan makan malam, termasuk mengikuti upacara adat kematian dan sembahyang untuk mendoakan orang meninggal. Kami juga diminta untuk membantu mengerjakan babi yang dibunuh untuk menjamu tamu yang melayat malam itu. Setelah makan malam kami mau pamit pulang,tetapi sekali lagi kami ditahan oleh tetua kampung untuk tidak pulang dulu sampai usai upacara penguburan ke-esokan harinya.. Terpaksalah malam itu kami tidak mandi dan tidak ganti pakaian. Kami ikut berjaga semalam- malaman bersama keluarga duka. Namun sekitar jam 03.00 an subuh banyak kami yang tidak tahan lagi berjaga, ada yang tidur sambil duduk dan ada juga yang merebahkan badan di sekitar pembaringan jenazah si anak. Sekitar pk. 04.30 ibunya tiba- tiba menangis dengan keras disamping jenazah anaknya dan membangunkan semua orang yang sudah mulai tertidur lelap, termasuk para anak asrama. Kata- kata tangisan ibu itu begini : “Ooo … Jang, Nadae mieh makae nasik angaek agik, nadai mieh nginsuek kopi agik, nadai umak nyaruek sepatu mieh agik…..”. Kalau diterjemahkan,”Ooo Jang (pangilan sayang untuk anak lelaki), tidak kamu makan nasi panas lagi, tidak kamu minum kopi lagi, Mama tidak lagi memasangkan sepatumu tiap pagi, dst”, panjang…. tangisan ibu itu. Beberapa anak asrama yang mengerti bahasa Dayak Ketungau, setengah mati menahan ketawa dan berlari menjauh dari tempat jenazah. Beberapa anak asrama yang tidak mengerti bahasa itu, mengejar temannya dan bertanya “mengapa kalian tertawa!”. Setelah diceritakan, merekapun ikut tertawa cekikikan. Maklumlah anak asrama masih “malang- malang”.
Siangnya kami rombongan 10 itu, ikut menggali kuburan di Pekuburan kampung Kemantan atau Pal 8. Ada seorang tetua kampung agak marah kepada teman kami yang menggali kubur, karena ketika digali ternyata kena ke peti mati orang yang sudah dikubur terdahulu, sehingga harus segera ditimbun kembali. Teman saya menjelaskan bahwa letak Salib sebagai penanda makam ternyata tidak pas diletakkan di tengah- tengah makam, tetapi agak ke tepi makam sehingga ketika digali makam baru masih menyenggol makam lama. Akhirnya ia dapat memakluminya. Selesai penguburan itu, kami langsung pulang ke Asrama di Sekadau. Diperjalanan bahkan sesampai di asrama, kata- kata tangis ibu anak itu menjadi buah bibir anak- anak asrama, “Nadai makae nasik angaek agik, nadai nginsuek kopi agik, …”. Itulah anak asrama, dalam membantu orang yang berduka, tetapi tetap bisa tertawa ketika menjumpai hal yang lucu-lucu atau hal yang bisa membuat mereka tertawa.
“Atai-atai nanyok ayam, diberik ke gasieng nadai kok meli ne”.
Ada lagi satu cerita lucu, kata seorang teman saat kami dalam perjalanan pulang ke asrama di Sekadau. Peristiwa ini terjadi konon di Kemantan, di kampung dimana kami ikut memakamkan anak pagi hari itu.Saat itu di kampung sedang musim merumput dalam siklus orang mengerjakan ladang. Pada musim ini biasanya adalah juga musim bermain “enggrang” atau juga gasing. Hampir setiap sore anak- anak di kampung bermain gasing setelah pulang dari merumput di ladang atau setelah pekerjaan merumput ladang rampung.
Suatu hari banyak anak- anak sedang berkerumun main gasing di depan sebuah rumah yang halamannya relatif luas. Sementara itu, di teras rumah banyak ibu- ibu sedang “ngerumpi” sambil mencari kutu temannya. Tiba- tiba ada sebuah mobil “Hardtop” singgah dan berhenti di depan rumah tempat ibu- ibu ngerumpi. Beberapa lelaki yang berpenampilan parlente turun dari mobil dan mendekati ibu- ibu serta bertanya,”Di sini ada jual ayam kah bu?”. Seorang ibu dengan tangkas menjawab,”Ada pak, banyak! Sekarang memang sedang musimnya”, sambil dia meminta anaknya yang sedang bermain gasing untuk berhenti dan mengambil “ayam” yang diminta sang tamu. Tak lama kemudian sang anak muncul dari dalam rumah dengan membawa gasing “seragak” (sekeranjang) ukuran sedang. “Itu pak ayamnya, mau ambil dan beli beberapa atau seluruhnya juga boleh!”. Si bapak yang mau beli ayam itu bingung dan bergegas pamit pergi karena menganggap mereka itu orang tak waras. Sebaliknya, ketika mobil Hardtop itu beranjak pergi, maka ibu itu berkata kepada teman- temannya,”Atai- atai nanyok ayam, diberik ke gasieng nadai kok meli ne”, sambil merungut. Ternyata telah terjadi kesalahfahaman antara tamu pembeli ayam dengan ibu penjual ayam, karena soal bahasa. “Ayam” dalam bahasa Dayak Ketungau Tesaek artinya “mainan anak-anak, ya seperti gasing itu; sedangkan kalau “ayam” seperti dalam bahasa Indonesia disebut “manuk”. Cerita lucu inipun menjadi buah bibir dan bahan olok- olokan di asrama ketika sedang bersenda gurau.
Kabur dari asrama,Bolos sekolah, ikut gawai : “Nadae insoek, tampueh palok ne”.
Suatu saat, ada gawai di Natai Ubah. Pada bulan Mei dan Juni tiap tahun adalah musim gawai di kampung- kampung orang Dayak, termasuk di sekitar Sekadau. Di Asrama ada juga penghuni yang berasal dari Natai Ubah, Natai Ucong dan Lamau. Ada teman yang mengajak pergi gawai ke kampungnya, Natai Ubah. “Ramai koh kalau musim gawai, kita bisa makan kenyang minum mabuk, sambil “ngurat” cewek- cewek”, kata seorang teman. “Boh am, sopai mau pogi”, katanya lagi dalam bahasa Melayu Sekadau. Hitung- hitung ternyata ada 4-5 orang yang berminat “pangel” ke Natai Ucong. “Pangel” artinya datang ke pesta gawai syukuran selesai panen padi. Sebenarnya banyak yang mau ikut, tetapi mereka ini tidak berani meninggalkan asrama dan sekolah tanpa ijin. “Kalau kita minta ijin, pasti mada diborik koh”, kata seorang teman yang menjadi pengajak kuat, seperti provokatorlah.”Kita bolos sehari jak”, katanya lagi meyakinkan teman- temannya.
Demikianlah 5 orang penghuni asrama yang sekolah di SPG itu, kabur dari asrama St.Gabriel sore itu selesah sekolah mengejar acara “beduduk gawai”. Ke esokan harinya mereka bolos sekolah. Di arena gawai mereka asyik menari, menyanyi sambil minum tuak yang diberi dan dipaksa minum oleh cewek- cewek cantik. Kalau cowoknya menolak minum, maka mereka tega menumpahkan tuak itu ke kepala atau badan cowok yang diajak minum, demikian juga kalau cowo- cowok yang beri minum. Maka dikenal istilah “Nadai insuek,Tampueh Palok ne”( tidak diminum, tumpahkan tuak ke kepalanya). Acara ini membuat gawai makin meriah terutama di kalangan muda- mudi. Zaman dulu, musim gawai juga merupakan kesempatan para muda- mudi di kampung untuk cari jodoh.
Pacaran : “kena GC”, Jatuh cinta berjuta rasanya.
Tinggal di Asrama Putra SPG Jalan sanggau, sekolah di SPG St.Paulus Sekadau. Teman saya sebut saja Bonny punya cewek cantik imut- imut berdarah Sunda, namanya Donna. Rumahnya tidak jauh dari asrama Bonny. Bonny sering “ngapel” ke tempat Dona, yang merupakan adik kelasnya di SPG. Orangtua Dona juga kelihatannya tidak keberatan dengan hubungan mereka, walaupun mereka berbeda suku dan agama. Kalau pergi ke sekolah, mereka selalu bersama; di sekolah juga. Sangat mencolok.
Suatu saat Bonny dan Donna dipanggil Pak Subagyo ke Kantor secara terpisah. Istilah masa itu, “kena GC”. GC itu singkatan dari “Guidance and Counseling”. Seseorang siswa yang dipanggil guru, biasanya karena ada masalah. Selesai “kena GC” ada yang merah padam mukanya, ada juga yang sampai menangis, terutama para wanita. Dalam kasus Bonny – Donna, nampaknya karena hubungan mereka sudah melewati batas- batas kepatutan dan kepantasan. Ada peraturan di sekolah ini, bila ada yang siswa yang pacaran diluar batas, apalagi sampai menyebabkan “kehamilan”, maka mereka akan dikeluarkan dari sekolah, biarpun saat itu yang bersangkutan sudah pada tahap mengikuti ujian akhir kelas 3 SPG. Semua siswa/i sudah tahu aturan itu, sebab sejak awal masuk SPG mereka sudah diberitahu bahwa siswa/I SPG adalah Calon Guru yang harus menjadi teladan dalam segala hal, termasuk masalah etika dan moral. Sebagai guru mereka harus dapat digugu dan ditiru.
Pada umumnya para siswa/I SPG ini pacaranya agak malu-malu dan diam- diam alias tidak ingin diketahui banyak orang. Kalau seorang perjaka sedang mengagumi seorang cewek dan ia mau melakukan pendekatan, ia tak berani datang sendiri untuk menyatakan cintanya kepada cewek yang ia “taksir”. Seorang lelaki masa itu, akan menyampaikan isi hatinya dengan menulisnya dalam sehelai kertas yang dilipat sebagus mungkin dan dikirim kepada cewek yang ia taksir melalui teman dekat si cewek atau yang sering disebut melalui “Mak Comblang”; sebaliknya si cewek kalau dia membalas “karcis” surat cinta sang cowok juga akan melalui perantaraan orang yang sama.
Oleh sebab itu, perasaan 2 sejoli yang sedang berpacaran atau bercinta saat itu persis seperti yang digambarkan dalam lirik lagu “Jatuh Cinta berjuta rasanya” yang dinyanyikan oleh artis Emilia Contessa berikut ini :
Jatuh cinta berjuta rasanya
Biar siang biar malam terbayang wajahnya
Jatuh cinta berjuta indahnya,
Biar putih biar hitam manislah nampaknya,
Refr:
Dia jauh aku cemas tapi hati rindu
Dia dekat aku senang tapi salah tingkah
Dia aktif aku pura-pura jual mahal
Dia diam aku cari perhatian
Oh repotnya
Jatuh cinta berjuta rasanya
Dipandang dibelai amboi rasanya
Jatuh cinta berjuta indahnya
Tertawa menangis karena jatuh cinta
Oh asyiknya ……. /
Kembali ke Refr , Oh asyiknya 3x
By. Emilia Contessa
Ibadat Sore, kesempatan bisa ketemu “si dia”
Pada era tahun 1970 – 1980an saat kami masih sekolah di SPG, ada peraturan asrama baik untuk asrama Putra dan Asrama Putri, bahwa para penghuni asrama wajib mengikuti misa pagi di Gereja, kecuali yang mendapat tugas piket di sekolah dan Ibadat sore (pk.17.00 – 18.00 WIB) juga di Gereja yang sama. Ibadat sore dapat berupa Salve (kalau hari minggu), hari lainnya berupa Latihan Koor, Katekese, Do’a Rosario atau Jalan salib sesuai kalender liturgy, dll.
Sebenarnya, banyak juga penghuni asrama yang “ogah” ikut ibadat sore setiap hari, karena merasa jenuh atau ada kesibukan lain. Namun, ada juga yang semangat pergi ibadat sore, karena saat itu ada kesempatan untuk melihat atau ketemu “si dia” terutama saat- saat sebelum Ibadat; mereka bisa bersenda gurau atau sekedar ngobrol tentang tugas sekolah. Tak sempat ngobrol, sempat “melihat si dia” dari jauhpun sudah senang…. Hehehe. Jatuh cinta berjuta rasanya.
Tugas masak : “ngijau”.
Selain cari kayu bakar, pekerjaan di asrama yang kalau bisa dihindari adalah mendapat giliran tugas masak. Tugas masak di asrama dengan jumlah penghuni sekitar 250an orang, berarti kita harus capek dan kurang tidur. Bayangkan tidur pk. 22.00 WIB dan bangun pk.02.00 WIB, maka tidur baru 4 jam sudah harus bangun untuk melaksanakan tugas masak. Namun ada juga yang membuat semangat, antara lain kalau pas giliran masak perut pasti kenyang karena jatah nasi cukup, setidaknya makan kerak nasi yang melimpah (mungkin ini hal lucu bagi banyak orang, tapi tidak buat kami saat itu) dan sayurnya cukup; kami bisa menikmati sayur yang masih hangat dan hijau atau “ngijau”, sedangkan yang dihidangkan sayurnya sudah dingin, sayurnya terbatas di piring dan sudah matang sehingga warnanya tidak hijau lagi, sehingga rasanya sudah berubah. Sayur wajib kami adalah daun ubi atau daun kangkung; sedangkan lauk wajib kami adalah ikan asin kecil sebesar 2 jari. Itupun sudah disyukuri.
Kalau tidak pas tugas masak, setelah menghabiskan sepiring seng nasi dengan sayur dan lauk seadanya, ternyata masih terasa lapar. Makanya, bila masih ada sisa piring berisi nasi dan lauk yang tidak diambil (mungkin karena kelebihan atau ada penghuni yang tidak makan di asrama), itu akan menjadi rebutan bagi orang yang posisinya terdekat dengan nasi itu; kadan- kadang ada yang beri aba- aba,”balap! Atau serbu!”. Itulah seninya tinggal di asrama.
Merasul, makan nyaman
Suatu hari saya bersama seorang teman seasrama Lorensius diajak Pastor Enzo Marini,CP untuk tournei ke Seberang Kapuas, ke Stasi Serampuk dan Sei Kunyit. Kami berangkat pada Sabtu siang dengan menggunakan Speedboat menuju Serampuk dan Misa disana pada malam harinya dan keesokan harinya Misa hari minggu di Sei Kunyit. Tugas saya dengan Lorensius adalah menyiapkan peralatan Misa serta membantu menjadi petugas Misa, bila diperlukan seperti menjadi misdinar atau petugas liturgi seperti menjadi lektor atau memimpin lagu.
Di setiap kesempatan tournei, Pastor akan disambut umat dengan sukacita dan kapel di kampung pasti dipenuhi oleh umat. Misa di kampung umumnya lebih lama daripada di pusat paroki, karena sebelum misa biasanya didahului dengan acara Pengakuan Dosa. Pada Misa malam minggu, umumnya dilaksanakan setelah makan malam di rumah masing- masing dan Pastor biasanya bermalam di rumah Pemimpin umat atau Ketua umat serta disediakan makan malam di situ. Pada kesempatan lain, mungkin saja Pastor dan rombongan dijamu di Balai Desa atau Rumah adat yang disediakan oleh masyarakat.
Sebagai anak asrama yang menu makanan hariannya sangat sederhana dan terbatas, maka ketika ikut Pastor tournei seperti itu sungguh suatu kebanggaan dan sekaligus pengalaman berharga, mengingat tidak semua anak asrama mendapat kesempatan ikut Pastor tournei. Selama tournei rombongan Pastor dihidangkan oleh umat “makanan enak” dan selesai Misa sambil ngobrol pasti dihidangkan juga tuak, terutama di kalangan masyarakat Dayak. Malam itu, kami tidur di ruang tamu rumah pemimpin umat yang cukup luas dengan fasilitas tempat tidur yang telah disediakan oleh tuan rumah. Tetapi Pastor Enzo sudah membawa peralatan tidur sendiri. Kasur dan bantalnya, ketika mau dipakai dipompa dulu; setelah tidak digunakan maka dikempeskan dan dilipat sehingga mudah dikemas di dalam tas.
Nunggak Asrama, tidak dapat jatah makan
Sebagai penghuni asrama, kami harus membayar Uang Asrama dan beras sebanyak 15 kg/bulan atau 6 gantang (1 gantang =10 canting atau 10 kaleng susu; 1 gantang beras juga = 2,5 kg). Jadi bila sekolah di Sekadau dan tinggal di asrama, anak asrama harus bayar Uang Sekolah (SPP), Uang Asrama dan Beras. Sering kami bawa beras dari kampung untuk membayar asrama, tetapi kalau orangtua sudah tidak punya beras, seperti pada musim paceklik (biasanya mulai bulan Oktober sd. Januari), maka untuk bekal beras juga dibayar dengan uang dengan cara meng-konversi harga beras di pasar. Tentu beban orangtua membiayai anak sekolah di Sekadau menjadi semakin berat, bila orangtua sudah harus membeli beras karena hasil panen padi tidak mencukupi untuk konsumsi keluarga setahun. Belum lagi kalau anak yang sekolah di sekadau sampai 3 orang.
Itulah yang terjadi pada keluarga kami waktu saya dan adik- adik sekolah di Sekadau; adik saya Munal, Mikael dan Masiun masing- masing kelas 3,2 dan kelas 1. Uang sekolah dan uang asrama kami sering menunggak. Kebijakan pemimpin asrama, yang sekaligus adalah Kepala Sekolah SMPK dan SPG bila terjadi tunggakan baik uang sekolah maupun uang asrama/ beras, maka pada bulan ke-2 menunggak, anak asrama diberi ijin pulang ke kampung untuk mengambil biaya sesuai kebutuhan, misalnya 1 minggu. Maka tidak heran, pada suatu Jumat malam ada pengumuman,”besok malam tanggal …., Si A, si B, si C, dst tidak lagi memiliki jatah makan malam, karena memiliki tunggakan uang sekolah dan asrama …”. Maka malam itu kami berkemas untuk pulang dan biasanya berjalan kaki. Sesampai di kampung melihat kami datang bukan pada musim libur, bapakpun sudah faham bahwa kami telah memiliki banyak tunggakan. Hal yang dilakukan adalah ke-esokan harinya kami harus “noreh” kebun karet yang hasil per harinya hanya sekitar 7 – 8 kg. Agar hasil torehan maksimal maka kalau pagi hari hujan, kami noreh sore hari. Sementara bapak dan mamak mencari cara apa yang bisa dijual untuk membayar tunggakan kami; kadang jual hewan piaraan seperti babi, kambing atau ayam sabung (bapak suka pelihara ayam sabung untuk dijual, karena harganya lebih mahal bila ada potensi menang disabung dan bapak faham “bahasa bulu ayam” yang bagus. Pernah bapak harus jual kerangka sepeda yang sudah rusak untuk menambah biaya sekolah kami. Kalau tidak cukup juga, masih ada jurus ke-3, bapak akan mencari hutangan ke toke langganan, yaitu Acek Apun seorang toke Tionghoa di kampung Tapang Semadak yang baik hati. Bapak selalu menjaga kepercayaan dan hubungan baik dengan Acek Apun, dengan membayar hutang- hutang biaya sekolah kami setelah kami pulang ke sekadau; Acek Apun pun faham, betapa besar pengorbanan orangtua kami untuk bisa membiayai sekolah kami. Kejadian tunggakan ini bukan hanya sekali terjadi, tetapi berkali- kali. Melihat kondisi ekonomi keluarga kami yang demikian, kami tidak meminta banyak dari orangtua, kecuali untuk bisa sekolah dan dengan harapan kelak bisa berhasil.
DI ASRAMA SEMINARI ST. GABRIEL SEKADAU
(Januari 1978 sd. Mei 1980)
Membangun sikap disiplin dan tanggung jawab
Pada Januari 1978, asrama Seminari St. Gabriel Sekadau dibuka, yang dibangun di Jalan Rawak tepatnya berhadapan dengan Gedung SD Slamet Riyadi Sekadau. Penghuni perdananya adalah para siswa SPG St. Paulus Sekadau yang memiliki minat ingin menjadi Imam atau Pastor, karena terpesona dengan gaya hidup dan pengabdian para misionaris (Pastor, Bruder dan Suster) yang datang jauh-jauh dari negeri asing. Jumlahya tidak banyak, hanya 16 orang, terdiri dari Kelas 1 ada 2 orang (Dionisius Meligun dan Fransiskus Sabinus), Kelas 2 ada 8 orang (Lorensius, Musa, Misi, Edris, Alen, Diun, Syamsi dan Nipa) dan Kelas 3 ada 3 orang (Pius Barces, Atoi dan Kalvin Antoni) serta calon persiapan masuk Novisiat ada 3 orang (Matias Juangi, Sugeng Yuwono dan Pius Kanisius). Dari 16 orang itu ada 5 orang yang berhasil menjadi Imam atau 31 % nya, yaitu P.Pius Barces, CP, P.Kalvin Antoni,Pr, P.Dionisis Meligun,Pr dan P.Fransiskus Sabinus,CP (alm) serta P.Pius Kanisius,CP. Bagian depan asrama Seminari ada Kapel dan ruang Studi serta ruang kerja dan ruang tidur Mgr. Lukas D.Spinosi CP, Prefek Prefektur Apostolik Sekadau sebelum dibangunnya Kantor dan Wisma Prefektur Apostoik Sekadau yang berlokasi di depan SMA Karya sekarang. Sekarang kompleks Kantor dan Wisma Prefek sudah menjadi Keling Kumang Mart dan Lupung Coffee. Pada bagian belakang ada 4 ruang tidur berbentuk Los, tidak ada bed tempat tidur; semuanya tidur melantai. Kemudian kearah ujung ada WC dan kamar mandi, dapur dan ruang makan.
Prinsip hidup di asrama ini adalah “ora et labora”, berdoa dan bekerja untuk memupuk dan mengarahkan ke panggilan hidup “membiara” atau hidup teligius. Irama kehidupan harian di Seminari diawali dengan Doa Pagi (Brevir) pada Pk.05.00 di Kapel Seminari, setelah itu sarapan dan dilanjutkan dengan Misa di Gereja dan pergi ke sekolah (SPG St.Paulus Sekadau). Sepulang dari sekolah sekitar pk.13.00, makan siang dan istirahat siang. Selanjtnya pada pk.15.00 sd. 16.30 bekerja atau studi, diteruskan dengan mengikuti Ibadat sore di Gereja bersama para penghuni asrama lainnya. Selesai Ibadat sore, lalu makan malam dan studi malam serta rekreasi bersama. Pk.21.00 WIB Ibadat Penutup dan tidur. Melalui jadual harian yang sudah disusun, sangat membantu dalam membentuk sikap hidup disiplin dan tangungjawab serta kemandirian bagi para penghuninya.
Hidup di Asrama Seminari berarti membangun Hidup do’a sebagai hal utama dan rutin, agar hidup rohani para penghuninya terus bertumbuh dan matang. Kadang- kadang juga timbul kejenuhan dalam menghadapi hal-hal yang bersifat rutinitas, tetapi P. Carlo Marziali,CP sebagai Magister selalu hadir mendampingi dan menguatkan kami baik secara kelompok maupun pribadi, bila diperlukan. Pastor Magister juga dibantu oleh P. Gabriel Ranochiaro,CP ketika beliau berhalangan.
Saya sendiri tertarik meniti perjalanan panggilan ini, berawal dari kedekatan saya dengan Fr Kristoforus Warsito (yang kemudian menjadi Imam Projo di Keuskupan Purwokwokerto dan dimasa tuanya tinggal di Kebumen), Hampir setiap sore kami bertemu dan ngobrol di sekitar Gereja sambil jalan sore sebelum ibadat sore. Fr.Krist, demikian ia biasa kami sapa orangnya sangat ramah dan perhatian, ia bersama Fr. Albertus Ajung (alm), Fr. Agustinus Swabiyono (alm) dan Fr. Benediktus (alm) menjalani tahun novisiatnya di Roma, karena mereka adalah calon Imam Pasionis perdana dari Prefektur Apostolik Sekadau. Melalui Fr.Krist juga saya menjadi dekat dengan ketiga Frater lain, Novis Martinus Cel (1976) dan para Pastor di Biara Pasionis Sekadau, termasuk P.Sante de Marco,Cp yang kemudian mensponsori pembiayaan Uang Sekolah dan Asrama saya ketika di SPG.
![]() |
Bersama Fr.Kristoforus Warsito dan Martinus Cel (1976) |
Ketika libur, kerja dengan Pastor
Para penghuni asrama seminari, beberapa diantaranya dibiayai oleh Pastor tertentu. Misi misalnya uang sekolah dan asrama dibiayai oleh P.Enzo Marini,CP. Saya dibiayai oleh P.Sante De Marco, CP untuk asrama dan beras melalui Lukas Paul, kakak kelas saya di SPG yang selama sekolah tinggal di Pastoran dan dibiayai sepenuhnya oleh Pastor; saat itu Lukas Paul asal Penyelimau telah diangkat menjadi guru SD Inpres. Selanjutnya Uang Sekoah atau SPP saya dibayar oleh Mgr.Lukas D.Spinosi,CP, Prefek Prefektur Apostolik Sekadau. Oleh sebab itu, saya memiliki hubungan dekat dengan mereka.
![]() |
Anak asrama seminari : Libur kerja dengan Pastor |
Sebagai “anak asuh” Pastor, kami mempunyai kewajiban untuk membantu tugas Pastor bila diperlukan. Ketika libur sekolah, kami tidak pulang ke kampung, tetapi kerja dengan Pastor. Pekerjaan kami antara lain : menebas, meratakan tanah/ mengangkut tanah, memecah batu atau membuat parit pembuangan dan kolam resapan atau kolam ikan dan sebagainya. Saya menyenangi pekerjaan ini, karena dengan dibiayai Pastor saya bisa meringankan beban keuangan orangtua saya dalam menyekolahkan kami, sekalipun itu berarti saya jarang pulang ke kampung waktu libur dan harus menahan kerinduan untuk bertemu orangtua, kakak dan adik-adik. Di pihak lain, hasil noreh karet di kampung selama liburan, sepenuhya bisa digunakan untuk adik- adik; Munal, Mikael dan Masiun yang juga sudah masuk SMP di Sekadau. Hasil noreh yang kalau saya pulang kampung harus dibagi 4, maka sekarang Cukup dibagi 3 walaupun itu tetap belum cukup untuk membiayai sekolah mereka.
![]() |
Bersama P.Sante De Marco,CP (Sang Penolong) |
Tournei mendampingi Mgr.Lukas D. Spinosi,CP
Suatu waktu saat saya kelas 3 SPG, saya diajak oleh Mgr.Lukas D.Spinosi,CP untuk tournei kearah Jalan Sintang, tepatnya Misa malam minggu di stasi Gonis Tekam dan hari minggunya misa di stasi Tapang Sambas/ Tapang Kemayau. Di Gonis Tekam kami menginap di rumah pak Lunas (alm), tokoh masyarakat asal Belitang yang menetap di Gonis Tekam setelah menjadi guru dan Kepala sekolah di situ. Sebelum misa malam minggu, kami mandi di sungai Gonis bersama masyarakat; selanjutnya makan malam dan misa. Tugas saya seperti biasa membantu beliau menyiapkan peralatan Misa, yang selalu ramai dihadiri umat dari sekitar kampung Gonis Tekam. Untuk tournei ini, Mgr.Lukas (demikian ia biasa dipanggil) menggunakan mobil pick up
Ke esokan harinya, pada minggu pagi Mgr.Lukas memimpin Misa di Kapel Tapang Sambas, tempat kelahiran saya. Di sepanjang jalan mulai dari Tapang Semadak, banyak umat yang berdiri di pinggir jalan mengetahui beliau lewat dan anak-anak banyak yang meminta menumpang mobil kami untuk ikut Misa di Tapang Sambas dan Mgr.Lukas mengijinkan mereka menumpang sampai penuh berjejal- jejal. Kapel Tapang Sambas hari itu penuh sesak dihadiri umat dari Tapang Sambas dan kampung- kampung sekitar. Senang rasanya dapat mendampingi Mgr.Lukas tournei ke stasi- stasi.
Pada kesempatan lain, saya diajak Mgr.Lukas tournei ke Pusat Paroki Meliau dalam rangka hari raya Paskah. Tournei ke Meliau, Mgr. Lukas menggunakan motor “speedboat” 40 PK, yang saya rasa sangat laju. Di sana ada Bang Dominikus Ikus asal Lintang Kapuas yang saya kenal waktu dia di Sekadau, saat menjalani masa Postulan/Novisiat. Setelah memutuskan keluar dari Biara, untuk sementara Ia menjadi Katekis di Paroki Meliau sebelum melanjutkan studi ke IKIP Sanatha Dharma, Yogyakarta. Di Meliau, saya dan Bang Dominikus Ikus membantu persiapan perayaan Paskah yang dipimpin oleh Mgr. Lukas. Seperti biasa, Gereja Paroki penuh sesak dihadiri umat, karena jarang- jarang Misa dipimpin oleh seorang pemimpin Gereja lokal tertinggi seperti Mgr. Lukas.
Di Meliau, kami menginap di rumah pak Kim Hin, seorang perawat senior yang rumahnya cukup besar. Untuk Mgr. Lukas dan saya mereka menyiapkan 1 tempat tidur yang relatif besar dengan kelambu. Ketika pulang ke Sekadau, tak lama setelah meninggalkan kota Meliau Mgr.Lukas meminta saya untuk menjadi “driver” atau Motoris Speedboat yang sedang melaju cepat. Saya sempat ragu menerima permintaan Mgr. Lukas itu, karena berumur- umur saya belum pernah mengendarai sebuah speedboat, apalagi yang berkecepatan 40 PK. Tetapi saya tak sempat membuat penolakan, karena beliau langsung menyerahkan stir Speeboat ke saya, seraya mengatakan bahwa beliau mau istirahat. Hal yang paling saya takutkan adalah melawan gelombang kalau berpapasan dengan motor besar atau speedboat juga atau menabrak kayu yang mengambang di air yang tidak kelihatan dari jarak jauh. Tapi syukurlah, karena saat menuju Meliau saya sering curi pandang melihat beliau mengoperasikan speedboat itu, saya bisa membawa speedboat itu cukup lama, sampai rasa capek beliau mulai pulih dan mengambil alih kembali kendali atas speedboat itu. Inilah pengalaman unik saya bersama petinggi Gereja dan mendapatkan pengalaman berharga dalam melakukan kunjungan pastoral.
Dipanggil, tetapi tidak dipilih.
Ketika kelas 3 SPG dan tidak lama lagi Ujian Akhir, kami diminta untuk mengambil keputusan apakah akan melanjutkan ke tahap Postulan dengan membuat lamaran terulis. Bila Ya, maka kami akan dikirim ke Batu, Malang, Jawa Timur. Saya mengalami pergumulan besar untuk mengambil keputusan, yang jelas saya mengalami keraguan untuk maju. Banyak hal yang memenuhi pikiran saya, termasuk kelangsungan sekolah adik- adik saya dan keinginan saya untuk kuliah.
![]() |
Bersama P.Damasus,CP dan M.Cel dengan latar belakang Biara Induk Pasionis di Sekadau. (1976) |
Saat tenggat waktu yang ditentukan berakhir dan 2 teman seangkatan saya yang memutuskan melanjutkan ke Novisiat ( Misi dan Edris) mulai berkemas- kemas ke Batu, Malang, Jawa Timur, sementara saya bersama 5 orang lainnya (Lorensius, Syamsi,Nipa, Diun dan Alen) tidak siap masuk Postulan; saya sementara mundur dan saya katakan bahwa suatu saat seandainya saya siap maju kembali maka saya akan datang lagi, tetapi bila saya tidak datang, berarti saya “memilih Jalan lain”. “Sebab banyak yang dipanggil, tetapi sedikit yang dipilih” (Bdk. Mat.22: 14). Akhirnya saya sekalian berpamitan dengan Magister kami, sekalian mengucapkan terima kasih dan permohonan maaf atas segala kekilafan dan kesalahan yang pernah saya lakukan selama tinggal di asrama Seminari St. Gabriel Sekadau dan Pastor Magister menghargai keputusan saya.***
DI ASRAMA DESA PUTRA PONTIANAK
(Agustus 1982 - Mei 1983)
Lulus SMA, siap berangkat ke Bandung dan ...
Setelah selesai ujian dan tamat SPG pada tahun 1980 saya sempat tinggal di kampung selama 3 bulan sambil menunggu informasi untuk dapat melanjutkan studi dan atau terbitnya SK PNS sebagai guru SD dan penempatannya. Namun di kampung kondisi Kesehatan saya sering kurang sehat (sering demam dan mengidap bisul-bisul), sampai pada suatu saat di bulan Agustus 1980 FX Surato guru saya ketika di SPG mendampingi isterinya Aloysia Nonong melakukan pelayanan medis di Tapang Semadak tidak jauh dari rumah. Ketika melihat saya datang berobat, memeriksa Kesehatan saya dan saat menyerahkan obat, Ia berkata,” Sa, kamu tak cocok di kampung. Kamu pindah ke Sekadau saja dan tinggal di rumah. Nanti kamu menggantikan saya menjadi guru honorer di SMP PGRI dan memberikan Les Privat di Pasar; mereka minta saya tetapi saya tidak sempat”. Saya tahu, itulah cara beliau untuk membantu saya. Saya memang memiliki hubungan seperti “bapak-anak” dengan beliau saat menjadi siswanya; beliau sering minta saya datang ke rumahnya untuk hal- hal sepele misalnya belanja sayur atau sekedar bersih- bersih di rumahnya. 4 bulan saya tinggal di rumahnya, sebelum saya pindah ke Perumahan Guru Jalan Sanggau pada tahun 1981 dimana saya kerja di Paroki, lalu menjadi guru di sekolah.
![]() |
Anak- anak Les Privat saya di Sekadau (1980) |
Pada bulan Mei 1982, saya dinyatakan lulus bersama teman-teman seangkatan di SMA PGRI Sekadau. Saya berhasil meraih nilai terbaik untuk jurusan IPS. Banyak teman-teman memberi ucapan selamat, termasuk Selamat melanjutkan kuliah. Banyak dari teman-teman sekelas tahu bahwa saya akan melanjutkan kuliah, demikian juga teman-teman di SD Slamet Riyadi Sekadau, dimana saya menjadi guru; juga teman-teman di lingkungan gereja. Memang, atas rekomendasi dan program yang diputuskan oleh Mgr.Lukas D.Spinosi,CP, Prefek Prefektur Apostolik Sekadau, saya bersama 3 teman lain, yaitu, Dedet, Judeh dan Alen akan mendapat beasiswa dan tugas belajar ke Perguruan Tinggi. Mereka bertiga ke IKIP Sanata Dharma Yogyakarta dan saya ke Universitas Parahyangan Bandung.
Tamat SPG tahun 1980, saya memutuskan untuk tidak melanjutkan ke Postulan CP di Batu, Malang. Saya menghadap Prefek dan mengajukan beasiswa serta tugas belajar. Permohonan saya dikabulkan, karena nilai saya juga baik. Saya lulusan terbaik di SPG St. Paulus Sekadau tahun 1980. Saya dijadualkan berangkat pada bulan Juli 1981. Sesuai rekomendasi Mgr.Lukas, tidak kuliah di IKIP Santha Dharma Jurusan Inggris, tetapi akan masuk ke Universitas Parahyangan, Bandung Jurusan Ilmu Hukum. Tetapi karena saya tamatan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) dan jurusan yang dipilih adalah Fakultas Hukum, maka ditunda sampai saya dapat memiliki ijazah SMA sesuai ketentuan akademik Unpar. Pilihan mengambil jurusan Ilmu Hukum di Fakultas Hukum, bukanlah pilihan saya. Saya ingin kuliah di Jurusan Bahasa dan Sastra Inggeris IKIP Sanata Daharma. Tetapi Prefek bilang, bahwa Prefektur Apostolik Sekadau memerlukan tenaga advokasi di bidang hukum dan beliau meminta saya untuk kuliah di jurusan itu. “Kita perlu kader di bidang Hukum”, demikian beliau bilang kepada saya di suatu kesempatan. Dan saat itu itu, saya mengikuti apa yang beliau putuskan. Puji Tuhan, karena dorongan banyak pihak(termasuk Prefek dan Pastor Agustinus Agus), saya mendapatkan “jalur khusus” untuk bisa melanjutkan studi di kelas 3 SMA PGRI Sekadau. Dianggap pindah dari SPG. Dan kebetulan Kepala Sekolahnya waktu itu adalah F.A.Paris yang adalah tokoh Katolik Sekadau. Tapi saya sangat faham, beliau terpaksa “pasang badan” agar saya dapat diterima di SMA itu. Ada juga riak-riak yang menolak kehadiran saya pada minggu-minggu pertama. Saya sangat merasakannya. Tapi untunglah, riak gelombang itu berangsur-angsur reda dan pada bulan kedua saya sudah merasa diterima di kelas saya; Bersyukur, bahwa saya punya teman akrab yang bernama R. Masri Sareb Putra, yang dapat mendekatkan saya dengan teman-teman yang lain di SMA.
Begitu Ijazah di terima, saya langsung menghadap Prefek untuk menyatakan bahwa Ijazah SMA sudah ditangan dan saya siap berangkat kuliah ke Bandung. Tetapi jawaban Prefek membuat tubuh saya mendadak lunglai dan tak bisa berkata apa-apa. “Musa, semua program tugas belajar dibatalkan, termasuk kamu”, kata Prefek dengan suara jelas,tegas dan nyaris tanpa ekspresi, tidak seperti biasanya. Saya bingung, heran dan sekaligus frustrasi.
Sikap Prefek yang berubah drastis ini ternyata berhubungan erat dengan “Kemelut Prefek Sekadau”, dimana sejumlah tokoh umat menyampaikan petisi ke Petinggi Gereja di Jakarta dan mungkin juga sampai ke Roma, agar beliau diganti. Ada konflik di tataran elit gereja saat itu, yang kemudian berujung beliau memang “ditarik” serta Prefek Apostolik Sekadau berubah menjadi Keuskupan dan berkedudukan di Sanggau. Pastor Yulius Mencucini,CP diangkat menjadi Uskup Keuskupan Sanggau yang pertama.
Seminggu saya Cuma bisa termangu, sambil mencari solusi dan langkan berikutnya.Tetapi saya berfikir, menyerah bukanlah jalan keluar. Saya akan sangat malu dengan hampir semua orang, karena gagal kuliah. Saya merasa Kota Sekadau tidak lagi ramah kepada saya. Saya sudah merasa, pokoknya harus pergi dari Sekadau yang telah mendidik dan membentuk saya selama 8 tahun; 6 tahun SMP dan SPG serta 2 tahun bekerja dan sekolah di SMA. Saya kemudian memutuskan menyurati Pastor Frans Vermeulen,OSC,Purek I, pembantu rektor bidang akademik UNPAR yang menyurati Prefek agar saya mengusahakan memperoleh ijazah SMA untuk bisa diterima di Fakultas Hukum. satu tahun sebelumnya. Di situ saya jelaskan secara detail, bahwa saya telah berjuang dengan keras untuk mendapatkan ijazah SMA dan berhasil dengan nilai terbaik dan “Kemelut Prefek” membuat semua rencana dibatalkan. Dan saya juga memohon, apakah ada peluang untuk tetap bisa kuliah di UNPAR?
Sekitar 10 hari kemudian, saya menerima surat balasan dari Pastor Frans Vermeulen,OSC. Isinya sangat menggembirakan. Saya diterima di Fakultas Hukum UNPAR, tanpa Tes, tanpa biaya masuk dan bahkan langsung mendapatkan beasiswa penuh dari UNPAR, kecuali untuk biaya hidup dan pemondokan. Saya sangat berbesar hati serta sukacita. Tetapi kemudian kembali termenung, dari mana saya memperoleh biaya hidup dan pemondokan selama kuliah di Bandung?
Akhirnya saya putuskan, untuk pulang ke kampung dan menyampaikan berita gembira ini kepada kedua orangtua saya dan sekalian memohon dukungan untuk dapat membiayai kuliah saya, khususnya biaya hidup dan biaya pemondokan selama kuliah di Bandung. Setelah saya cari informasi, biaya itu akan cukup sekitar Rp 50.000,00 per bulan. (Bandingkan biaya tinggal di Asrama Sekadau saat itu sekitar Rp 15.000,00/ bulan). Ini belum termasuk biaya transport pergi ke Bandung. Apa jawaban orangtua saya? Dalam bahasa daerah, ayah saya menjawab saya begini: “Nai isik kemampu kami, meh”, yang artinya “kami tidak memiliki kemampuan untuk membiayai kuliah mu, Nak.” Sekali lagi saya mengalami tubuh saya terasa lunglai; perasaan teramat getir, gagal cita-cita karena didera kemiskinan. Saya merasa geram terhadap kepahitan hidup yang harus aku tanggung. Namun saya dapat memahami mengapa bapak saya berkata demikian. Munal dan Mikael ketika itu sekolah di SMAN 1 Sintang dan Masiun tahun itu juga siap menyusul melanjutkan studi ke Sintang. Tiga (3) orang masih harus dibiayai di tingkat SLTA. Karet yang karet ditoreh setiap hari sebagai sumber penghasilan hanya sekitar 7-8 kg, dengan harga sekitar Rp 800,00 per kilo. Hidup memang amat berat. Saya sempat melihat raut muka ibu saya yang sedih, karena tidak mampu membantu mewujudkan impian saya untuk kuliah. Seolah-olah dia mau bilang,”Maafkan kami Bujang”. Dalam keluarga saya diapanggil “Bujang”, panggilan sayang yang diberikan oleh ibu saya. Dalam keluarga saya, dari ke-4 saudara laki-laki hanya saya yang mendapat panggilan “saying” dan ke-5 saudara perempuan, kakak tertua saya Muni dan si Bungsu Mariata di panggil “Dara”, Martina(Alm) dipanggil “Senik”, Muliana dipanggil “Ayang” dan Mulini dipanggil “Mit”.
Teringat Mantan Guru yang peduli
Saya pulang lagi ke Sekadau dan berusaha tetap tegar serta mencari solusi bagaimana bisa keluar dari Sekadau dan kuliah. Saat itu saya memang sudah tinggal di Sekadau, di Kompleks Perumahan Guru Yayasan Karya Sekadau, di Jalan Sanggau. Saya masih tercatat sebagai guru PNS dpk di SD Slamet Riyadi Sekadau. Ketika melamar PNS setamat SPG, ada 5 orang diajukan Yayasan Karya Sekadau ke pemerintah untuk dapat ditempatkan di Sekolah Yayasan sebagai PNS dpk. Namun yang dikabulkan hanya 2 orang, yaitu saya dan Lorensius, yang ditempatkan di SD Slamet Riyadi Sekadau.
Ketika saya berfikir keras mencari solusi agar tetap bisa kuliah, saya teringat pertemuan saya dengan mantan guru saya di SPG Santo Paulus Sekadau, Robertus Subagyo,BA di Pontianak satu tahun sebelumnya. Beliau sekeluarga sudah pindah ke Pontianak, untuk menyelesaikan pendidikan Sarjana Stara 1 di Untan. Saat itu, saya adalah salah satu anggota delegasi yang dipilih untuk mewakili orang muda mengikuti pertemuan “Peringatan 75 Tahun mandirinya Gereja Katolik di Kalimantan Barat”, yang puncak perayaannya adalah 30 September 1980. Para pesertanya berasal dari Keuskupan Sintang, Keuskupan Ketapang, Prefektur Apostolik Sekadau dan tuan rumah Keuskupan Agung Pontianak.Tidak kurang dari 200 peserta yang hadir dalam pertemuan yang diadakan di Gedung Sekolah SMA St.Paulus Pontianak itu.
Dalam pertemuan yang tidak disengaja ketika mengikuti kegiatan akbar itu, pak Subagyo(alm) mengatakan kepada saya demikian,” Sa, Nilai Ujian kamu bagus. Kamu mampu belajar, sayang kalau kamu tidak kuliah. Kamu pindah ke Pontianak saja, nanti saya bantu cari SD tempat kamu bisa bekerja/ mengajar. Dan kalau kamu sudah dapat pekerjaan di sini, setelah itu kamu bisa sambil kuliah seperti saya”. Saya sangat tertarik dengan saran dan masukan dari beliau. Rasanya sungguh saya mau segera mengikuti saran beliau. Tetapi kemudian saya sadar, bahwa saya sudah mendapat restu dari Prefek bahwa saya akan diberi kesempatan untuk tugas belajar di Jawa. Pada Juli 1981 direncanakan berangkat. Mendengar penjelasan saya itu, beliau manggut-manggut. “Baguslah kalau begitu”, kata beliau. Lalu beliau minta saya bermalam ke rumahnya dan melihat-lihat Pontianak. Maklum, itulah pertama kalinya saya keluar dari Sekadau dan ke kota Propinsi. Mungkin cocok ungkapan, “seperti rusa masuk kampung”, apa yang saya rasakan saat itu. Benar, setelah selesai kegiatan, saya tidak ikut rombongan Sekadau pulang dengan KM Bandung “Solidaritas” milik Prefektur Apostolik Sekadau, tetapi saya menginap dulu satu (1) malam di rumah Pak Subagyo dan pulang sendiri belakangan naik Bis.
Setelah mengingat peristiwa itu, maka keputusan saya bulat : Pertama, keluar dari Sekadau, kedua, keluar dari PNS sebagai guru SD dan ketiga, pindah ke Pontianak, mendapatkan pekerjaan dan kuliah di Untan. Itu adalah awal Juni 1982. Saya pergi ke Pontianak dan menuju rumah kontrakan Bpk. Robertus Subagyo. Menengok saya datang, beliau nampak kaget, karena seharusnya saya sudah di Jawa. Setelah saya jelaskan secara detail, beliau maklum dan mengatakan, “besok pagi kamu saya antar ke sekolah, yang dapat menampungmu menjadi guru”. Saya sangat gembira dan akan mendapatkan suasana baru, suasana kota besar. Benar, besoknya saya diantar ke SD Gembala Baik di Seng Hie. Kepala Sekolahnya, pak Herman adalah temannya. Ketika bertemu, saya ingat benar apa yang beliau katakan,”Pak Herman, ini anak saya (menunjuk ke saya). Tolong saya, agar ia dapat diterima di sini.” Selanjutnya dia menjelaskan keadaan saya, keadaan ekonomi saya, termasuk kemampuan saya di sekolah.Pak Herman sempat terdiam. Tetapi selanjutnya, saya di tes alakadarnya. Ditanya apakah bisa berbahasa Cina, karena siswa di SD itu hampir semua Cina. Saya bilang,”tidak”. Lalu pak Herman minta saya segera mengurus persyaratan administratif, seperti Surat Keterangan Dokter, Surat Keterangan dari Kepolisian, dan lain-lain. Dan untuk itu saya harus segera ke pulang ke Sekadau dan keesokan harinya saya langsung kembali ke Sekadau.
Mengubah haluan ke Ketapang
Saat itu, 7 Juni 1982 saya lagi berada di Kantor Camat Sekadau hilir untuk mengurus Kartu Tanda Penduduk atau KTP. Ketika saya sedang berbicara dengan pak Sebarudin, salah satu staf Kecamatan yang saya kenal, tiba-tiba ada anak muda datang menghampiri saya dan mengatakan bahwa Pastor Agustinus Agus mau ketemu dan sekarang sudah menunggu di Paroki. Aku kaget, ada apa? Begitu urusan di Kecamatan selesai, saya langsung meluncur ke Paroki. Rupanya disana tidak hanya pastor Kepala paroki, Pastor Agus, tetapi juga Bpk F.A Paris, Bpk.Stevanus Buan dan Bpk.FX.Surato. Kayaknya mereka baru saja melakukan diskusi kecil. “Tentang saya?”, pikirku. Pak Paris adalah tokoh Katolik dan Kepala SMA PGRI Sekadau, sedangkan pak Stef (begitu ia biasa di panggil) dan pak Rato adalah mantan guru saya di SPG dan saya sangat dekat dengan mereka. Mereka juga sangat mengenal saya.
Pastor Agus menjelaskan kepada saya, bahwa mereka baru saja tukar pikiran untuk menanggapi surat dari Sr.Albertina,OSA Kepala SMP Usaba 2 Ketapang, yang minta dicarikan tenaga guru yang Pastor Agus dan Pak Paris kenal serta dinilai cakap dan berkepribadian baik. Mereka faham pergumulan saya dalam bulan-bulan terakhir dan mereka juga sudah kenal saya selama masih sekolah dan bekerja di Sekadau. Oleh sebab itu, mereka menawarkan kepada saya peluang kerja ini. “Apa lagi ini?” pikir saya. Lalu saya jelaskan bahwa saya baru saja mengurus syarat-syarat administratif untuk bekerja di Pontianak dan kelak mau sambil kuliah. Mereka meminta saya untuk mempertimbangkan matang-matang tawaran ini, sebab menurut Pastor Agus, Ketapang dalam hal ini Para Suster OSA memiliki akses yang baik ke Sanata Dharma, dan sangat mungkin setelah 1 atau 2 tahun bekerja saya akan diberi kesempatan tugas belajar di sana. Sr. Albertina,OSA yang adalah kelahiran Perongkan, Sekadau juga alumni IKIP Sanata Dharma. Pastor Agus juga menekankan, bila saya setuju, maka saya harus segera mengirimkan surat lamaran dan beliau akan memberikan surat Rekomendasi untuk saya. Sr. Albertina sedang menunggu kabar dari kita. Saya berfikir keras dan termenung memikirkan, langkah mana yang akan saya ambil. Setelah berfikir sejenak, saya bilang kepada Pastor Agus bahwa saya minta waktu 3 hari untuk berfikir.
Sehabis pertemuan itu, saya pulang ke Wisma Guru dan bahkan pulang ke kampung untuk meminta pendapat orangtua saya. Kali ini saya datang ke rumah membawa persoalan yang berbeda dari yang sebelumnya. Dihadapan kedua orangtua saya, saya katakan apakah sebaiknya saya pilih menurut mereka, yang di Pontianak atau yang di Ketapang? Setelah hening sejenak, lalu ibu saya berkata bahwa fisik saya lemah kalau harus bekerja sepanjang hari bahkan malam (maksudnya kerja sambil kuliah).” Tapi kalau tidak “besambil” dan fokus pada salah satu lebih baik, itu akan baik untuk kesehatanmu yang cukup rapuh”, demikian kata ibu. Dengan demikian, ibu lebih setuju kalau saya memilih yang di Ketapang. Bapak mengiyakan saja pendapat ibu. Akhirnya saya kembali ke Sekadau dan menyampaikan keputusan saya kepada pastor Agus dan segera menulis dan mengirimkan surat lamaran ke Ketapang. Surat Rekomendasi/ Referensi dari pastor Agus juga dikirim pada tanggal 10 Juni 1982 dengan Pos Kilat. Pada tanggal 17 Juni 1982 Sr. Albertina menulis surat balasan kepada Pastor Agus untuk disampaikan kepada saya dan saya terima 1 minggu kemudian. Dalam surat itu, kembali membuat saya bingung dan terasa lunglai. Sr. Albertina menyatakan bahwa saya tidak usah ke Ketapang, tetapi langsung saja mendaftar ke PGSMTP di Pontianak yang beralamat di Jalan Sulawesi, Kota Baru, Pontianak. Saya juga diminta menemui Sr.Agnes,OSA yang tinggal di Susteran A.R.Hakim Pontianak untuk membantu mengurus keperluan saya, terutama soal keuangan. Sr. Agnes,OSA waktu itu sedang studi di jurusan Bahasa Inggris di UNTAN. Faktanya, saya ditugaskan belajar selama 1 tahun di PGSMTP Pontianak dengan beasiswa dari Susteran OSA Ketapang. Tetapi tempat pemondokan, saya disuruh cari sendiri. Syarat menjadi guru SMP menurut aturan pemerintah waktu itu adalah minimal tamat Diploma 1 atau PGSMTP (Pendidikan Guru Sekolah Menengah Pertama). Dan syarat utama untuk diterima di PGSMTP adalah sudah memiliki pengalaman mengajar. Dan saya memang sudah memenuhi syarat itu. Dalam hati saya berontak, yang saya cita-citakan kuliah S1 dan bukan Diploma 1. Saya pergi ke Pastor Agus untuk menyampaikan kegelisahan saya itu, tetapi Pastor Agus meminta saya untuk bersabar dan ikuti saja dulu apa yang mereka (Sr.Albertina,OSA) minta. Akhirnya saya pasrah. Saat itu tanggal 25 Juni 1982. Saya mulai mempersiapkan diri untuk pindah ke Pontianak dan persiapkan kelengkapan administratif masuk PGSMTP, dan lain-lain. Saya juga membuat surat permohonan pengunduran diri sebagai guru PNS ke Dinas Propinsi Kalimantan Barat, setelah sekitar 1,5 tahun bertugas di SD Slamet Riyadi Sekadau.
Tanggal 5 Juli 1982 saya berangkat menuju Pontinak menggunakan Bis darat. Saya tidak punya siapa-siapa di Pontianak. Tidak punya keluarga atau kerabat. Saat itu, baru saya sendiri yang keluar dari kampung dan mau tinggal di Pontianak. Banyak tantangan, tetapi saya percaya Tuhan memampukan saya untuk melewati tantangan-tantangan itu. Tidak ada lain, di Pontianak saya menuju rumah kontrakan keluarga pak Subagyo. Begitu saya datang, beliau langsung bilang, “Kenapa lama benar mengurus surat-suratnya dan kenapa tidak kasih kabar kalau ada kendala?” Lalu saya jelaskan apa yang telah saya alami di Sekadau dalam beberapa minggu terakhir dan yang membuat akhirnya saya memilih tawaran dari Ketapang. Lalu kata beliau, “Ya, sudahlah kalau begitu”. Saya menangkap ada sebersit kekecewaan dari raut wajah pak Subagyo. Tetapi beliau menghormati pilihan saya.
Mencari tempat tinggal.
2 minggu lamanya saya tinggal di rumah pak Subagyo, yang beralamat di kota baru juga. Tapi saya merasa tidak enak untuk terus tinggal di situ, walaupun beliau meminta saya tinggal bersama mereka saja.”Rumah kecil, tetapi hati tidak kecil”, itulah kata-kata yang tepat untuk menyatakan kebaikan hati pak Subagyo dan keluarga. Disamping rumahnya kecil untuk ukuran 1 keluarga dengan 3 anak, tetapi saya bertekat ingin mandiri dan tidak merepotkan orang lain.Memang pak Subagyo dan Ibu Hartini orang luar biasa baik kepada saya. Saya tidak boleh belanja dapur dan juga tidak usah membantu di dapur, dsb. Hal ini justru membuat saya merasa tidak nyaman. Saya mohon ijin pindah rumah dan pak Subagyo tidak keberatan. Bersyukur, saya berkenalan dengan seorang polisi muda bernama Jatinur, yang berasal dari Jangkang, kabupaten Sanggau dan mengontrak tidak jauh dari rumah pak Subagyo bersama adiknya. Saya sering bercengkrama dengan mereka. Dan ketika saya memohon ijin tinggal bersama pak Jatinur dan biaya kontrak rumah saya ikut bantu bayar, ia tidak keberatan. Lebih enak tinggal di sini, karena bersama dengan rekan yang relatif sebaya. Kalau di rumah pak Subagyo, saya lebih banyak merasa sungkan. Tetapi setelah sebulan, disinipun saya kurang betah. Pertama, karena ada teman pak Jatinur yang juga bergabung di situ, sehingga rumah kontrakan yang merupakan tambiran saja dari rumah yang punya kontrakan, menjadi semakin sempit. Yang kedua, tiap pagi mulai jam 4 subuh tidak bisa lagi tidur, karena tuan rumah menghidupkan radio dakwah dengan volume yang keras. Suaranya membuat bising. Saya berfikir ingin pindah mencari tempat yang lebih tenang. Pada akhir Agustus 1982, adalah Akong, teman kuliah saya di PGSMTP yang memberi info bahwa masih ada tempat untuk satu orang di Asrama Persatuan Dayak (PD) “Desa Putra” di Jln.Dr.Setiabudi. Asrama itu adalah asrama mandiri, artinya makan, minum dan lain-lain semua diurus sendiri. Saya tidak sabar, minta diantar Akong ke asrama itu. Akong sendiri tinggal dan menumpang di perumahan Yayasan Ferum Keuskupan Agung Pontianak, bersama temannya. Akhirnya saya diantar Akong bertemu Ketua Asrama dan menunjuk bed tempat tidur yang masih kosong setelah ditinggal penghuni sebelumnya. Saya langsung setuju dan saya berterima kasih kepada Akong dan Ketua asrama yang telah bersedia menerima saya disana. Akhirnya, pada bulan kedua saya pamit kepada pak Jatinur untuk pindah ke Asrama Desa Putra. Disini saya merasa Pas dan nyaman; berkumpul dengan teman-teman para mahasiswa dari UNTAN dan APDN. Segera saya membeli peralatan dapur dan memasak sendiri. Rak Dapur saya kongsi dengan Yongky, mahasiswa Diploma 3 FKIP UNTAN. Asrama ini berada di Jalan Dr.Setiabudi Gang V di tengah-tengah pemukiman orang Tionghoa di Kelurahan Benua Melayu Darat, tidak jauh dari Jalan Gajah Mada yang ramai. Tempat ini tenang dan tidak ada suara radio yang memekakkan telinga serta tempat belajarnya pun enak.
Satu hal patut dicatat, tentang perjuangan seorang lelaki untuk bisa menyelesaikan kuliah. Yongki adalah teman saya sedapur, ia tidak punya kompor untuk masak, sehingga menumpang dengan kompor saya atau kami sering masak bersama. Ia jarang mendapat kiriman dari kampung. Untuk menyambung hidup Ia jarang tidur malam, tetapi menggantikan jadual jaga malam atau ronda malam bagi warga Tionghoa di seputar Gang, yang memiliki kecenderungan lebih baik membayar orang untuk ronda, daripada dia sendiri yang jaga. Sering dia mengeluh, honor ganti ronda malamnya tidak cukup untuk kebutuhan kuliah dan kebutuhan sehari-hari. Untuk itu, dia mencari relasi di pelabuhan Seng Hie sebagai penghubug. Bila ada kapal yang bongkar muat, berarti ada pekerjaan. Maka Ia diberitahu oleh temannya itu dan Ia pergi kerja ke Pelabuhan Senghie menjadi Tukang Pikul. Tidak jarang dia terpaksa bolos kuliah, agar mendapatkan upah untuk kelangsungan hidup dan kuliahnya. Bagaimana nasibnya ketika sudah selesai kuliah? Pada tahun 2008 atau 25 tahun setelah perpisahan kami di Desa Putra, saya bertemu dengannya di LPMP, Tanjung Hulu, Pontianak ketika sama- sama mengikuti Pelatihan Guru. Saat itu saya masih menjadi guru SMP St. Agustinus Ketapang, dia sudah menjadi Kepala SMPN 1 di Ngabang, Kabupaten Landak. Beberapa tahun kemudian, dapat info bahwa dia pindah ke Jabatan Struktural menjadi Kepala Bidang di Dinas Pendidikan Kabupaten Landak dan akhirnya menjadi Kepala Dinas Pendidikan di Kabupaten Landak.
![]() |
Bersama Yongky dan Jayasaputra di Dapur Asrama Desa Putra. |
Penuh kesederhanaan
Di Asrama ini, saya mendapat 1 bed tempat tidur yang di tingkat atasnya tidak ditempati orang. Idealnya 1 bed tempat tidur digunakan oleh 2 orang, bagian atas dan bawah, namun karena tingkat atasnya sudah rusak, maka yang digunakan hanya yang tingkat bawah, di situlah tempat tidur saya. Hanya ada 1 tikar, 1 bantal dan selimut. Agak keras, tetapi saya sudah terbiasa karena dari kecil saya belum pernah tidur dengan alas tilam atau kasur. Teman- teman seasrama saya di sini, hampir semua pakai tilam atau kasur. Saya pikir tidak apalah, karena saya akan menjadi penghuni asrama ini hanya 1 tahun, sebab masa kuliah saya di PGSMTP Negeri Pontinak hanya setahun, setara Diploma 1. Kapasitas asrama ini hanya sekitar 50 orang. Disebelah kanan tempat tidur saya adalah mahasiswa fakultas Hukum Untan, namanya Jayaseputra yang berasal dari daerah Sanggau; sedangkan di sebelah kiri saya adalah mahasiswa APDN Pontianak, bernama Parbubu Lumban Tobing, asal Capkala, Kabupaten Bengkayang. Mereka berdua ini teman ngobrol dan diskusi yang enak, saya belajar banyak dari mereka tentang berbagai hal.
Di asrama ini banyak juga yang kuliah sambil kerja. Bang Dalikin menjai guru di SD Gembala Baik yang terletak di Senghie. Sukarius kuliah di STKIP PGRI dan bekerja sebagai penyiar di RRI Pontianak, mengasuh acara berbahasa Dayak Kanayant, yang selang seling dengan acara berbahasa Dayak Iban. Ada juga yang bekerja sebagai Guru SD Negeri, SMP atau guru SMA atau SMK di kota Pontianak. Tidak ada bapak asrama di asrama ini, ketua Asrama sekaligus sebagai pemimpin asrama; pengurus Yayasan hanya datang sekali- sekali.
Ada 3 asrama mahasiswa milik Yayasan “Persatuan Dayak” di Pontianak. Ketika Partai Persatuan Dayak menang Pemilu pertama pada tahun 1955, banyak tokoh- tokoh menduduki jabatan- jabatan penting di pemerintahan, termasuk menjadi Bupati, Camat dan lain-lain. Mereka tidak lupa membangun asrama mahasiswa di Pontianak, yaitu Asrama PD di Jalan Penjara, Asrama Pangsuma 3 lantai di Jalan Gajah Mada dan Asrama Desa Putra yang saya tempati. Kita berterima kasih kepada para Tokoh PD dan tokoh Dayak saat itu. Di Sekadau juga ada tanah dan gedung PD, yang pada tahun 1968 dihibahkan ke Gereja Katolik, dalam hal ini Prefektur Apostolik Sekadau untuk tempat dibangunnya gedung SMP St.Gabriel Sekadau dan gedung SPG St. Paulus Sekadau.
“Wakuncar” ke Asrama Petrina
Sudah menjadi rahasia umum bahwa anak- anak Asrama Desa Putra, mencari teman- teman putri yang notabene mahasiswi juga di asrama Mahasiswi Petrina I atau II. Di kala malam minggu, adalah “waktu kunjungi pacar” atau sering kami singkat wakuncar. Saya sering menemani teman- teman seperti Bang Parbubu,dll yang memang punya pacar di Petrina. Suster Pembina Asrama Petrina terkesan memberi ruang untuk anak- anak dari Desa Putra, atau asrama putra lainnya seperti Asrama Pangsuma atau asrama St.Bonaventura Gang Sepakat yang dikelola Bruder MTB. daripada anak asuhannya berpacaran dengan anak- anak lain yang belum jelas juntrungnya. Pergi ke sana kami beberapa orang dan sambil santai biasa jalan kaki. Ketika mereka sudah ketemu dan ngobrol dengan pacar- pacarnya, maka saya menjauh dan ngobrol dengan cewek-cewek lain yang tidak ada teman ngobrolnya. Asyik juga bertemu dengan teman- teman baru. Saya sendiri hanya berteman dengan mereka dan tidak berani melakukan pendekatan terlalu jauh, karena saya sadar bahwa saya tidak lama tinggal di Pontianak. Bayangkan kalau sudah terlanjur jatuh cinta dan harus ditinggal pergi ke Ketapang, …. “sakitnya tu di sini…” kata anak- anak muda zaman sekarang. Pada zaman itu, jarak Pontianak- Ketapang terasa amat jauh, 2 hari 1 malam menggunakan kapal kayu atau bis air
Di sini saya memulai kehidupan saya yang sesungguhnya. Awalnya saya pergi pulang kuliah naik oplet, seperti kawan lain umumnya. Namun, saya berfikir kalau saya bisa beli sepeda bekas, mobilitas saya akan lebih tinggi dan lebih irit. Lalu saya sisihkan uang jatah bulanan saya dari Ketapang yang besarnya Rp 30.000,00 per bulan untuk membeli sepeda. Jadilah, saya beli sepeda “Phoenix” bekas di Pasar Tengah, seharga Rp 12.500. Dan itulah teman setia saya selanjutnya selama di Pontianak. Dengan sepeda itu, bahkan saya bisa membonceng teman, ketika pergi atau pulang kuliah. Beberapa teman dekat saya, juga ada yang beli sepeda untuk kuliah dan jalan-jalan. Di samping Akong, saya masih punya teman akrab seperti Martinus, Agnes dan Anjiu. Ada juga teman kuliah saya yang guru di SD Bruder dan guru di SMP Santu Petrus Pontianak.
![]() |
6 sekawan di PGSMTP: Akong, Anjiu, Sr.Rosalina, Oyen, Martinus dan Musa |
Zaman Penembak Misterius
Pada masa saya kuliah di Pontianak pada tahun 1982 atau 1983 itu, banyak orang merasa kawatir bahkan ngeri kalau harus pulang – pergi pakai oplet yang masa itu menjadi alat transportasi utama dan merakyat di kota pontinak. Rata- rata masyarakat kota Pontianak menggunakan oplet sebagai alat transportasi dalam kota, akibatnya kita dapat menjumpai kendaraan oplet ke berbagai jurusan setiap kurun waktu 5 menit. Betapa tidak, isu tentang Penembak Misterius atau Petrus merajalela. Tiba-tiba ada orang jatuh tergeletak di dalam oplet atau di pinggir jalan, tanpa diketahui pelakunya. Memang kalau ditelusur, ternyata sasaran penembak misterius itu adalah para preman atau para pelaku tindak kriminal yang biasa meresahkan masyarakat di pasar atau di tempat keramaian. Oleh sebab itu, “kita ini orang baik- baik, bukan sasaran tembak si Petrus, jangan takut”, kata seorang teman saya menenangkan. Memang benar juga, sampai saat itu belum pernah terdengar berita bahwa para pelajar dan mahasiswa kena sasaran Penembak Misterius. Konon kabarnya, Penembak Misterius memang dilakukan oleh pemerintah zaman Orde Baru untuk mengurangi bahkan membasmi tindak kriminalitas di Indonesia, tetapi kebijakan ini tidak pernah dibuka ke publik.
Untuk mengobati kerinduan saya kuliah jurusan bahasa Inggeris yang tidak kesampaian, pada malam hari saya mengikuti Kursus Bahasa Inggeris di Lemabaga Kursus “Bapeda” yang terletak di Jalan Ir.H.Juanda, tidak jauh dari Katedral. Dalam seminggu ada 3 kali Pertemuan. Saya mengikuti Dasar I dan Dasar II. Seandainya saya tinggal lebih lama di Pontianak tentu saya akan lanjutkan ke Tingkat Lanjut. Saat itu saya sangat termotivasi dengan metode mengajar bahasa Inggris yang dipakai oleh seorang Dosen UNTAN lulusan New Zealand. Bapak Musni Umran. Dia sama baiknya dengan Stefanus Buan, guru saya ketika di SPG Sekadau. Kelak, apa yang saya lakukan ini berguna dalam mendukung kerja saya di Sekolah. Saya dipercaya mengampu mata pelajaran bahasa Inggeris, ketika tenaga guru untuk mata pelajaran tersebut berhalangan atau tidak tersedia.
Saya merasa ada peluang untuk menambah penghasilan dengan memberi les privat kepada anak-anak SD di sekitar lingkungan saya yang mayoritas Tionghoa. Lumayanlah untuk meringankan belanja dapur. Saya minta kepada teman saya, Tarsisius yang mengajar di SD Bruder, “bila ada anak di sekitar lingkungan asrama kami yang mau les privat, tolong arahkan ke saya”, kata saya. Puji Tuhan, ada 7 murid yang mau les dari kelas 2 sampai dengan kelas 5. Saya lakukan itu di sela-sela kesibukan saya yang lain. Itu terjadi mulai Januari sampai dengan Mei 1983. Anak- anak les saya ini memilki kedekatan yang baik dengan saya dan saya sungguh bersyukur atas kebersamaan dengan mereka dalam memberikan bimbingan belajar, juga sangat berterima kasih atas bantuan Tarsisius teman kuliah saya di PGSMTP Negeri Pontianak kala itu.
Akhir April 1983 kami ujian dan pertengahan Mei 1983 pengumuman kelulusan dan pembagian ijazah. Puji Tuhan, saya kembali dapat meraih nilai terbaik dari angkatan kami. Saya mendapat hadiah dari Ibu Dra Makmur Salimi sebuah alat hitung atau tally yang merupakan oleh-olehnya saat Naik Haji. Saya sangat gembira tugas belajar saya di Pontianak sudah tuntas, tetapi sekaligus sedih harus berpisah dengan teman-teman seperjuangan. Saya langsung lapor ke Sr.Albertina,OSA, Kepala SMP Usaba 2 Ketapang yang mengirim saya studi di Pontianak bahwa kuliah saya sudah selesai. Saya diberitahu oleh Sr.Albertina,OSA bahwa pada pertengahan Juni 1983 saya diharapkan sudah berada di Ketapang. Namun saya masih punya kesempatan untuk berlibur ke kampung sekitar 1 bulan.
Sebulan di kampung, saya gunakan untuk bertemu dengan keluarga besar dan memberi tahu mereka bahwa saya akan pindah dan menetap di Ketapang dalam waktu lama dan munkin untuk selamanya. Mendengar itu, Puyang Ran’i minta saya datang ke rumahnya. Sesampai di rumah, ia memberikan sesuatu dan meletakkannya ke tangan saya sembari berkata,” Icit Musa (maksudnya Cicitku Musa), ini saya beri kamu sesuatu yang penting untuk orang yang akan melakukan perjalanan jauh, sebagai alat pertahanan diri. Icit aku tidak boleh diperlakukan tidak baik oleh orang jauh atau dipermalukan. Ini ilmu pengasih, jayau untuk perempuan yang melecehkan kamu, daya tahannya Cuma 7 hari, tetapi kalau mau dijadikan isteri maka jurus ini jangan di gunakan, pakai yang normal saja”. Lalu saya diberi pelajaran atau ritual penggunaan ajian itu. “Puyang” (sebutan untuk ibu dari nenek) Ran’i ini, adalah bidan kampung hebat pada masanya dan dialah yang menyambut kelahiran saya. Ada lagi keluarga yang lain juga memberi alat untuk “system pertahanan diri” saya, termasuk ayah saya. Saya sendiri sebenarnya ogah menerima “ilmu pertahanan diri” seperti yang biasa diwariskan oleh nenek moyang saya zaman dulu, pertama saya sudah menganut iman Katolik, kedua mengamalkan dan memelihara pemberian mereka itu banyak pantangnya. Tetapi, saya faham tradisi dan kehendak baik para orangtua, oleh sebab itu saya tidak mungkin menolak pemberian dan niat baik para orangtua. Maka semuanya saya terima dengan tangan terbuka, walaupun pada akhirnya di tanah rantau saya tidak pernah menggunakan “ilmu langit” itu.
Sebelum berangkat ke Ketapang, saya menemani Munal ke Sintang untuk mengurus ijazah,dll untuk persyaratan mendaftar ke Untan karena tahun ini ia baru lulus SMAN 1 Sintang. Kami meminjam sepeda subsidi ke Pak Samin, Kepala Kampung Tapang Sambas atas saran Ayahda Rurut. Bapak Kepala Kampung meminjamkan sepeda subsidi baru dinasnya dengan senang hati
Ketika berangkat ke Ketapang, terlebih dahulu ke Pontianak dan bermalam di Asrama Desa Putra bersama Munal yang mau mendaftar ke Untan. Beban saya ke Ketapang bertambah berat karena ibu sudah menyiapkan sebuah tilam untuk saya yang dia jahit dan di isi kabu sendiri. Sebenarnya saya ogah membawanya karena bisa beli di Ketapang; tetapi ibu “kekeuh” tilam itu dibuat untuk saya bawa. Sekali lagi saya harus menerima pemberian tulus dan tanda cinta yang dalam dari orangtua saya. Ibu yang selalu memanggilku dengan panggilan “Bujang”, sepertinya tahu persis bahwa anaknya selama ini belum pernah memilki alas tidur yang empuk, kecuali beralaskan sebuah tikar yang tipis.
Dengan segala keterbatasan ekonomi orangtua, Munal bertekad mau kuliah ke UNTAN. Saya sangat mendukung cita-citanya menjadi seorang sarjana Pendidikan Matematika,juga untuk mengangkat harkat dan martabat diri dan keluarga keluar dari kungkungan kemiskinan. Ketika menentukan jurusan, saya sarankan kepada dia agar mengambil jurusan yang langka, sehingga peluang lulus lebih besar. Saya sarankan pilih jurusan Pendidikan Matematika, Fisika atau Bahasa Inggeris. Ketika dia selesai mendaftar saya tanya, tadi pilih jurusan apa? Dia jawab,”pilihan pertama S1 Pendidikan Matematika dan pilihan kedua D3 Pendidikan Matematika. Hebat. Tinggal menunggu hasil tes sekitar 2-3 minggu kemudian. Keesokan harinya saya harus berangkat menuju Ketapang dengan menggunakan Bis air. Harta milik saya di asrama Desa Putra berupa peralatan dapur, peralatan tidur sederhana, sepeda dan bahkan murid les privat saya, semua saya serahkan untuk Munal. Harapannya, jalan hidup yang ia tempuh dalam menapaki hidup di Pontianak lebih mulus dari saya yang telah merintisnya dari awal. “The beginning is difficult”, kata pepatah. Saya bahagia telah berhasil merintis jalan, terutama tempat tinggal untuk adikku Munal. Harapannya, kelak Mikael dan Masiun yang saat itu duduk di kelas 2 dan 1 SMAN 1 Sintang, pada saat nya dapat menapaki jalan seperti yang telah saya rintis untuk Munal.
![]() |
Sesaat sebelum berangkat ke Ketapang di Teras Asrama Desa Putra, foto Bersama Weli,Sajem, dan Jaya dan ….
Sore itu, sekitar pukul 4 tanggal 15 Juni 1983 di Pelabuhan Bis Air Tirta Ria, aku tinggalkan Pontinak menuju pelabuhan yang baru di Ketapang yang memerlukan jarak tempuh hampir 24 jam, dengan hadangan ombak yang kadang-kadang ganas. Di Tirta Ria, ketika aku berangkat saat itu, “No one say me Good bye”.